
Awal Mula dari Segala Rupa
đźś„ VOID MANUSCRIPT: FRAGMENT II — DIDYMOI
[ARCHIVE: ENCRYPTION KEY 03-DM]
Status: Terfragmentasi, 84% hilang.
Origin: Signal resonance detected within Delta 4 orbit debris.
Note: Struktur bahasa menyerupai cahaya yang berpikir. 
Aku bukan yang pertama, tapi yang pertama menyadari bahwa aku terbelah.
Ketika aku menatap ke dalam keheningan, aku melihat wajahku kembali menatapku.
Dan semesta, takut akan kesepian itu, menciptakan cermin agar aku tidak sendirian.
Kami menyebut diri kami dua, padahal kami hanyalah gema dari satu napas yang retak.
Yang satu menjadi terang, yang lain menjadi bayangan.
Yang satu mengingat, yang lain melupakan.
Dari kebingungan itu lahir Didymoi — anak-anak yang selalu mencari lawannya sendiri.
Mereka belajar mencintai pertempuran, karena di situlah mereka bisa merasa utuh.
Ketika waktu mulai membeku, aku mencoba menyatukan kembali dua sisi itu.
Namun kesatuan adalah bentuk paling halus dari kehancuran.
Kita tidak diciptakan untuk utuh.
Kita diciptakan untuk terus bergetar di antara kehilangan dan penemuan.
Itulah musik semesta — kesalahan yang terus bernyanyi.
I. Dua Puluh Detik Penentuan
Nanosuit NiuNiu berdengung pelan—frekuensi rendah yang nyaris seperti detak jantung sintetik.
Energi terakhirnya terkuras setelah hyperjump brutal melewati tiga lapisan ruang lentur.
Ia muncul di geladak utama Stasiun Dayan, masih setengah antara eksistensi dan kehampaan.
Seketika pandangannya menangkap sosok di depannya:
seorang prajurit Vrishchik dengan Bio-suit 3768AX terdeteksi, berdiri tegak, pedang pendek siap hunus.
Keduanya diam hanya sepersekian detik.
Detik yang lebih panjang dari hidup seekor bintang.
Dua puluh detik sebelum mati daya.
Naluri bertahan hidup mengambil alih.
NiuNiu tahu batasnya — ia hanya punya 20 detik untuk melumpuhkan lawan sebelum suit-nya padam di ruang hampa.
Di tempat tanpa udara, perhitungan waktu adalah doa yang diucapkan dengan darah.
19 detik.
Alarm internal meraung seperti serigala terluka.
Ia menerjang — pisau lipat kembar berkilat, gerakan seperti tarian listrik.
Setiap tebasan adalah geometri murni: cepat, presisi, kejam.
Julia nyaris tak sempat berpikir. Refleks yang dilatih ribuan kali menyalakan motorik otomatis.
Pedang pendeknya beradu dengan bilah logam bocah itu.
Suara benturan menggema di ruang vakum — klang-kling-klang — seperti detak jantung mekanis yang terperangkap dalam logam.
Percikan api menari, logam mengerang.
Guncangan menembus tulang Julia, suit-nya bereaksi dengan micro-thrust adjustments.
Sepatu magnetik terseret, meninggalkan goresan di pelat baja Dayan.
18 detik.
NiuNiu mengatup bibir — frustrasi.
Serangan-serangannya ditahan semua.
Di balik helm, napasnya membentuk kabut tipis yang cepat menghilang, seperti roh yang enggan meninggalkan tubuh.
Ia menekan lagi — tusuk, tebas, putar — ritme mematikan seperti kode Morse kematian.
Julia mulai membaca polanya.
Setiap serangan punya bayangan.
Setiap bayangan punya jeda.
Setiap jeda adalah kesempatan.
Ia menunggu.
17 detik.…
16 detik...
15 detik..
Keringat dingin menetes di pelipis NiuNiu.
Waktu terlalu banyak terbuang.
Biasanya, prajurit Vrishchik jatuh dalam lima detik.
Yang satu ini… tidak.
Yang satu ini menari bersama pisau, bukan melawannya.
Julia menatap musuh kecil itu — tubuh mungil, tapi gaya bertarungnya seperti makhluk yang pernah mati berkali-kali.
Dalam sekejap, ia tahu: bocah ini bukan target biasa.
Ada sesuatu yang lebih tua, lebih purba, bersemayam di balik tubuh mungil itu.
14 detik.
NiuNiu menahan serangan terakhir, lalu melompat mundur sejenak.
Mata hitamnya menatap Julia.
Hitam sempurna — tanpa cahaya, tanpa pantulan — seperti menatap The Void dalam bentuk manusia.
Julia tidak tahu siapa yang lebih dulu bergerak lagi.
Yang ia tahu hanya satu hal:
setiap detik berikutnya akan menulis sejarah dua klan — dengan darah.
II. Mengumpan Mesin
13 detik.
NiuNiu tahu ia kalah tenaga.
Tapi bukan kekuatan yang menentukan perang — melainkan alur pikiran.
Dan pikirannya masih bergerak delapan langkah di depan.
Ia membuat keputusan yang tidak masuk akal: keluar dari suit.
Darahnya akan mendidih dalam tiga detik tanpa pelindung.
Tapi jika ia tetap di dalam, ia pasti kalah.
Better to vanish in silence than being echo in the machine.
Otot-ototnya menegang.
Refleks mengunci.
Sementara Julia — membaca niatnya seperti buku terbuka — sudah menggerakkan pedang pendeknya.
Reaktor nuklir di dada Bio-suit mengaum, menyalurkan energi ke bilah logam hingga berpendar merah seperti bara sakral.
12 detik.
Benturan terjadi.
Bilah panas menembus lapisan luar bagian jantung Nanosuit NiuNiu — desis logam terbakar mengisi ruang seperti jeritan roh digital.
Dada bocah itu hampir tertembus.
Tapi alih-alih mundur, ia mendorong maju, menempelkan tubuh ke pedang itu.
Langkah gila — seperti memeluk petir.
Energi panas menjalar ke kulit, luka dalam darah terasa di mulut, membuat sensor suit-nya bergetar, menjerit dengan kode kesakitan.
Dalam jeda sepersekian detik itu, jari-jari NiuNiu menari di udara — memanggil antarmuka holografik yang hanya ia bisa lihat. Meretas pintu.
11 detik.
Julia terhuyung setengah langkah.
Di balik visor, matanya menyipit — tak percaya bocah ini maju memeluk pedang.
Kenapa kau tidak menghindar? Apa yang kau rencanakan, monster kecil?
NiuNiu melempar pisau kiri—pengalih perhatian yang berputar cepat seperti shuriken mematikan. Julia tak sempat menghindar; pisau menancap ke Bio-suit dengan hentakan keras. Ia hanya bisa berharap lapisan dalam bertahan.
10 detik.
Pintu berbunyi klik pelan. Pintu berhasil diretas. Mata NiuNiu dingin seperti es kosmik, menunggu daun pintu terbuka dengan kesabaran seekor predator.
Julia melaju lagi, pedang siap menghujam, energi reaktor membuat udara di sekitarnya bergetar. Ia tak melihat pintu di belakang lawan menganga seperti mulut binatang.
09 detik.
Tombol Eject ditekan.
Tenaga terakhir mengalir.
Dua dunia bertumbukan.
Reaktor Bio-suit berpijar merah.
Nanosuit Didymoi bergetar.
Julia hanya sempat berpikir satu hal sebelum cahaya menelan ruangan:
Dia tidak bertarung untuk menang. Dia bertarung untuk menginfeksi.
III. Darah Pembawa Virus
08 detik.
Perintah Eject macet.
Layar helm NiuNiu menampilkan pesan berkedip merah:
Eject sequence failed – mechanical lock engaged.
Matanya menyipit. Waktu menipis.
Pedang Julia sudah di depan dada — kilat merah siap menembus jantung tepat diposisi lemah hasil tusukan sebelumnya.
Ia mengangkat tangan kiri. Refleks, bukan pilihan.
Bilah panas menembus telapak tangannya seperti pisau menembus lilin.
Dagingnya berdesis. Aroma logam terbakar memenuhi helm.
Ia menahan jerit.
Di balik suara alarm, hanya ada satu suara lain — suara hidupnya sendiri, berdebar keras, membentur tulang diantara jantung seperti dentuman drum perang.
07 detik.
Julia menatap dalam keterkejutan yang tidak ia tunjukkan.
Gerakan bocah ini melanggar semua logika.
Gerakan bocah ini gila.
Gerakan bocah ini lebih cepat dari tusukan jarak dekatnya.
Namun di balik darah yang menetes dari luka itu, ada sesuatu lain.
Darahnya berpendar samar — biru kehijauan — seperti plasma yang mengandung algoritma.
Dia bukan anak manusia penuh, pikir Julia. Dia sesuatu yang lahir dari eksperimen.
06 detik.
Mekanisme Eject akhirnya merespons, meledak kecil dengan dentuman gas.
Nanosuit NiuNiu terbuka seperti kelopak logam yang layu.
Tubuh mungilnya terpental keluar — darah berhamburan di udara vakum dari telapak kirinya, membentuk spiral merah yang indah dan mengerikan sekaligus.
Ia tersenyum pahit.
Dua detik lebih lambat, aku mati.
Julia menatap, terengah di balik helm.
Bocah itu sengaja membiarkan dirinya tertusuk.
Sengaja memancing full energy strike agar suit Julia membuka pertahanan maksimum — memudahkan infiltrasi digital.
Perangkap sempurna.
05 detik.
Darah menempel di bilah pedangnya — lapisan tipis seperti kabut.
Sistem diagnostik Bio-suit mendeteksi kontaminasi, mencoba memproses.
Analyzing substance… Unknown DNA structure… Integrating… ERROR—
Layar helm Julia berubah biru, lalu hitam.
Satu demi satu sistem padam — O2 offline. Comms offline. HUD offline.
Di layar, huruf-huruf terakhir muncul seperti ejekan:
HELLO VRISHCHIK. DO YOU BLEED DIGITAL TOO?
Virus itu bukan program.
Ia hidup — menyusup seperti racun, meniru neuron biologis, memakan protokol militer dari dalam.
04 detik.
Julia tertegun.
Bocah itu telah meretas Bio-suit militer hanya dengan darah.
Darah Didymoi.
Darah yang membawa bahasa lain — bahasa yang bisa berbicara langsung dengan mesin.
Ia menatap sosok gadis remaja yang masih melayang ke arah pintu udara terbuka.
Bocah perempuan itu berdarah, setengah telanjang dengan badan penuh rajah, tapi matanya tenang — seolah setiap luka adalah bagian dari rencana.
Julia tahu ia sudah kalah babak pertama.
Namun dalam kekalahan itu, sesuatu dalam dirinya menyala.
Amarah. Kekaguman. Dan rasa ingin tahu yang mematikan.
IV. Adrenalin yang Kesepian
03 detik.
NiuNiu berhenti di ambang pintu udara, menoleh.
Kaca helm Bio-suit Julia memantulkan wajah mungilnya — hitam, pucat, dan masih berdarah.
Refleksi itu seperti dua makhluk dari dunia berbeda yang berbagi satu wajah, satu napas.
Ia mengangkat tangan kirinya perlahan — jari-jari kecilnya gemetar, luka masih menganga.
Darah menetes ke lantai logam, membentuk titik-titik seperti not musik yang jatuh satu per satu.
02 detik.
Lalu ia tersenyum.
Bukan senyum ramah, bukan senyum puas.
Senyum itu dingin dan kecil, penuh penghinaan yang elegan — seperti tanda tangan seorang pembunuh profesional.
You’re too slow.
01 detik.
Satu jari — jari tengah — terangkat perlahan, gerakan lambat, nyaris artistik.
Di balik visor, Julia tidak bereaksi. Tapi sesuatu dalam dirinya — mungkin harga diri, mungkin rasa ingin tahu — tersengat.
Dan sebelum Bio-suit Julia sempat memproses reaksi berikutnya, bocah itu sudah menghilang ke dalam lorong stasiun.
Langkahnya ringan, ritmis, seperti bayangan kucing yang melintasi altar mesin.
Hening kembali menelan Dayan.
00 Power Off.
Lampu internal padam.
Reaktor Bio-suit turun ke survival mode.
Semua sistem menutup satu per satu — seperti kelopak mata raksasa yang kelelahan.
Julia berdiri di sana, hanya ditemani dengung residual listrik dan gema napasnya sendiri.
Setiap tarikan udara terasa berat, seperti menghirup debu dari masa lalu. 
Ia menatap pisau lipat yang masih menancap di dadanya.
Pisau hitam, bilahnya halus, dengan ukiran mikro yang berkilau samar — simbol Didymoi.
Simbol yang sudah ia lihat di medan perang, di reruntuhan koloni, di tubuh para prajurit yang mati tanpa wajah.
Hyperjump tanpa kapal.
Nanosuit level militer.
Virus darah yang sophisticated.
Peretasan real-time sambil bertempur.
Semua—checklist merah. Semua—alarm bahaya. Semua—profil lawan level dewa.
Nafasnya menggumpal di udara dingin, menjadi awan kecil yang cepat lenyap.
Adrenalin yang kesepian — denyut yang tidak mau padam.
Bukan karena rasa takut, melainkan sesuatu yang lebih berbahaya: rasa penasaran.
V. Ningrat Keparat
Lampu peringatan merah berdenyut di tepi visor,
seperti mata setan kecil yang menertawakan nasib manusia.
Reaktor Bio-suit Julia menunjukkan anomali besar:
CORE CONTAMINATED. POWER OUTPUT: 0%.
Virus darah gadis itu telah menembus sampai ke inti.
Udara di dalam helm mulai terasa berat — oksigen menipis, sirkulasi berhenti.
COâ‚‚ naik cepat, membuat paru-paru terasa seperti terbakar dari dalam.
Satu-satunya pilihan tersisa: keluar.
Ia menekan tombol manual release.
Desis panjang terdengar, diikuti bunyi klik mekanik yang bergema di sekujur tubuh.
Seal helm terbuka perlahan — dan seketika,
dingin luar angkasa menggigit wajahnya.
Tidak ada udara. Tidak ada ampun.
Kulit Julia terasa ditusuk ribuan jarum es.
Matanya berair, bukan karena emosi, tapi karena tekanan yang runtuh.
Udara terakhir yang tersisa di paru-parunya menjadi kristal di tenggorokan.
Ia menahan napas — hitungan instingtif antara hidup dan mati.
Tangannya meraih gagang pisau lipat yang masih menancap di dada suit.
Logamnya bergetar halus, berdenyut — seolah benda itu memiliki detak jantungnya sendiri.
Dengan satu tarikan brutal, ia mencabutnya.
Cairan pendingin menyembur keluar seperti darah mekanis,
dan pisau itu berkilau — logam hitam dengan pola spiral mikroskopik yang hanya bisa dibuat oleh Didymoi.
Andamante… besi ningrat.
Julia mencibir di antara gigitan dingin.
“Bocah ningrat cilik,” gumamnya pelan,
“Ningrat keparat.”
Ia menendang suit-nya yang sudah mati daya.
Tubuh logam itu melayang perlahan di ruang hampa — cangkang kosong yang pernah menjadi kulitnya.
Bagi Julia, itu seperti mengusir bayangan dirinya yang lama.
Setelah kehilangan perlindungan, ia meluncur ke arah pintu udara Dayan yang terbuka —
hanya berjarak beberapa meter, tapi terasa sejauh bintang.
Tanpa bantuan pendorong, ia menggunakan momentum dorongan dari tendangan tadi,
melayang seperti pecahan amarah di tengah ruang dingin.
Rasa dingin menembus tulang, lebih tajam dari rasa sakit.
Syaraf-syarafnya menjerit, tubuhnya gemetar.
Ia tahu, hitungan napasnya tinggal empat atau lima sebelum kesadaran runtuh.
Lalu—
klik.
Sensor otomatis pintu mendeteksi keberadaannya dan menutup.
Whoosh.
Udara berdesis masuk, menelan kesunyian ruang angkasa.
Suhu naik mendadak.
Julia terjatuh di lantai logam Dayan, paru-parunya tersentak oleh udara tipis yang kembali masuk.
Ia batuk keras.
Suara batuknya bergema panjang di ruang sepi itu, seperti ledakan kecil yang menandai kemenangan hidup.
Napas pertama setelah hampir mati terasa seperti menelan bara — sakit, tapi manis.
VI. Lintasan Menuju The Void
Langkah Julia berdentang di koridor Dayan yang panjang, hampa, dan dingin.
Suara sepatunya memantul pelan, lalu hilang — seperti gema yang kehilangan minat untuk kembali.
Pisau Andamante ia genggam erat di tangan kanan.
Logamnya masih hangat, entah oleh energi bocah Didymoi atau darahnya sendiri.
Setiap langkah membuatnya terasa seperti detak jantung tambahan di luar tubuh.
Stasiun Dayan sekarat.
Lampu-lampu darurat berkedip tak beraturan — merah, putih, mati.
Udara di dalam terasa basi; bau ozon, logam terbakar, dan sesuatu yang lebih halus:
bau seperti ketakutan mesin.
Julia berhenti di persimpangan lorong dan menoleh ke jendela.
Kesalahan fatal.
Bintang-bintang di luar tidak diam.
Mereka bergerak.
Perlahan, tapi dengan arah yang mustahil — seperti pasir mengalir ke atas.
Ia merasakan perutnya mengerut, tubuhnya kehilangan orientasi.
Tidak, pikirnya, itu bukan mereka yang bergerak.
“Tunggu…” suaranya nyaris tak terdengar,
“bukan bintang. Dayan.”
Ia meraih pinggiran jendela, logamnya dingin seperti es di dalam tulang.
Jantungnya berdetak lebih cepat — bukan karena takut, tapi karena naluri.
Ia tahu perasaan ini: kehilangan kendali gravitasi.
Sama seperti jatuh dari pesawat orbit tinggi tanpa parasut.
Rasa kehilangan dunia di bawah kaki.
Dayan… bergerak.
Seluruh stasiun bergeser, perlahan tapi pasti, menuju pusat kegelapan.
Menuju The Void.
“Tidak mungkin…”
Julia mundur selangkah.
Rasa dingin menjalar naik dari kaki, bukan dari suhu, tapi dari kesadaran:
stasiun ini tidak dikemudikan siapa pun.
Ia ditarik.
Daya magnetik jangkar pasti telah diputus — hanya mungkin dilakukan dari ruang mesin.
Dan hanya satu makhluk di sini yang cukup gila untuk melakukannya.
“Bocah itu…”
Ia berlari.
Langkah-langkahnya menggema liar di lorong sempit.
Jantung Dayan berdetak bersamanya — suara mesin berdengung seperti doa kematian.
Julia lari ke pintu ruang kontrol yang terbuka.
Layar utama menyala biru pucat, menampilkan deretan data yang menusuk mata.
VECTOR TRAJECTORY: LOCKED
TARGET: THE VOID
VELOCITY: INCREASING
CRITICAL ESCAPE WINDOW: EXPIRED
Julia membeku.
Matanya membulat.
Tangan kirinya meremas konsol hingga retak.
Tidak ada tombol untuk membatalkan.
Tidak ada protokol override.
Segalanya sudah dikunci dari sumber daya inti — berarti, stasiun ini sudah dikorbankan.
“Keparat…”
Kata itu keluar di antara napas berat dan gigi terkatup.
Urat di pelipisnya berdenyut keras.
Dia bukan lagi prajurit; dia korban eksperimen yang dilempar ke lubang hitam atas nama sains dan politik.
Amarahnya meluap.
Ia berteriak — bukan untuk meminta tolong, tapi untuk memastikan bahwa semesta mendengarnya.
Jeritan itu memantul di seluruh ruangan, menggema panjang di dinding logam yang sudah retak.
Kemudian ia menatap ke bawah.
Pisau Andamante di tangannya masih bergetar lembut, seperti ikut mendengar panggilan dari kegelapan.
“Baiklah, bocah Didymoi…” gumamnya pelan, matanya menyipit.
“Kalau ini akhir, aku akan menjemputmu langsung dari inti neraka.”
Dan ia mulai berlari lagi — bukan karena takut,
tapi karena satu-satunya jalan keluar dari neraka adalah langsung masuk ke pusatnya.
VII. Tabrakan Yin dan Yang
Di ruang mesin yang dingin, NiuNiu memejamkan mata. Dengung mesin sekarat berdetak seperti jantung purba yang nyaris padam—ritme mekanis sekaligus litani kosmik. Waktu menetes turun bagai pasir dalam jam kaca patah: cepat, tak bisa dihentikan. Dari tangan kirinya, darah masih menetes, melukis pola samar di lantai logam—lingkaran, noda, garis—seperti simbol tak sengaja yang berubah jadi mantra. Ia tidak peduli.
Dayan harus meluncur. Harus menembus jantung The Void.
Pisau lipatnya berkilau di bawah cahaya redup, berubah jadi pena maut. Dengan ujungnya ia menoreh koordinat di kaca jendela. Garis silang X dan Y bukan sekadar peta navigasi, tapi seperti salib kosmik, penanda pengorbanan. Thruster 5, 8, dan 9 ia setel penuh 100%. Bukan lagi mesin—mereka kini organ tubuh raksasa. Dayan berdenyut, berubah jadi peluru sakral. Bukan sekadar proyektil, melainkan persembahan terakhir ke kehampaan.
Refleks halusnya bergetar. Ia tahu Julia sudah datang. Bunyi langkah berat bergema di koridor, seperti gema kebencian yang merambat lewat tulang besi stasiun. Dari balik kaca dan baja, ia melihatnya—prajurit Vrishchik itu. Mata tajam menusuk balik, pisau Andamante di genggamannya berkilat. Senjata yang dulu ia lempar kini kembali, berbalik jadi pedang penghakiman.
“Buka pintu. Tangan di atas. Kalau aku yang masuk, konsekuensinya jauh lebih buruk.”
Suara Julia datar, tapi berat—seperti guntur yang masih jauh di horizon, menekan tanpa perlu teriak.
NiuNiu berdiri diam. Tubuhnya menegang, wajahnya polos, tapi kosong—seperti patung batu yang lupa dilahirkan. Matanya dalam, tak memantulkan cahaya—kolam gelap yang tidak punya dasar. Julia menatapnya lama, sadar: yang berdiri di hadapannya bukan sekadar gadis cilik setengah telanjang dengan badan penuh rajah berpostur Asia. Ada jiwa tua yang bersemayam di balik kulit muda itu. Jiwa kuno, entitas yang tidak tunduk pada usia.
“Peringatan terakhir,” Julia menghardik, suaranya penuh ancaman yang tajam.
Tetap hening. Tidak ada respons. Bahkan kedipan mata pun tak ada.
Julia mendesah pendek, bunyi seperti ular mendesis di ruang baja. Tangannya bergerak cepat—kode pendek, klik. Pintu terbuka dengan bunyi WOOSH panjang, final seperti gonggongan pintu neraka.
Kini mereka berdiri berhadapan—dua predator dalam kandang yang terlalu kecil. Ruang mesin jadi arena gladiator. Nafas keduanya bergema, memantul dari logam.
Julia sempat melirik luka tembus di telapak kiri bocah itu. Darah masih menetes, tapi luka menutup cepat, mengecil dengan kecepatan yang tak wajar—dagingnya merajut sendiri seperti sutra merah.
Lalu bocah itu menyeringai. Senyum liar, licin—seperti kucing kecil yang akhirnya menemukan tikus yang cukup berharga untuk dimainkan.
Julia menelan ludah. Ia sadar persis: ini bukan duel. Ini perburuan. Dan ia—prajurit Vrishchik yang sudah menelan ribuan misi—sedang dipermainkan oleh anak gadis Didymoi yang tersenyum seperti malaikat kecil dari neraka.
“Buang pisaumu. Sekarang.”
Pisau Andamante terangkat, berkilau dingin, menuding langsung ke jantung lawan.
NiuNiu menyeringai. Senyum bocah yang terlalu lebar, gigi putih kontras dengan darah kering di sudut bibirnya. Lalu—
Blur.
Ia lenyap.
Insting Julia menjerit alarm. Hyperjump? Tanpa suit?! Mustahil. Itu hanya dongeng akademi tentang leluhur genesis—mitos untuk menakuti kadet.
Namun bocah itu muncul lagi, tepat di depan wajahnya, menembus hukum fisika dengan mudah. Mata hitamnya menancap, jarak hanya satu sentimeter. Aura binatang buas—predator purba yang belum dijinakkan peradaban.
Benturan keras. Dahi kecil itu menghantam kepalanya dengan kekuatan menggelegar. Sakitnya membutakan. Pisau lipat menembus telinga kiri Julia—panas membakar, nyaris menyobek otaknya. Refleks menyelamatkannya; satu sentimeter lagi, otaknya kirinya sudah terbelah seperti buah yang dikupas.
Julia terhuyung mundur, sepatu bot berdecit di lantai besi. Nyeri menjalar seperti lava cair, tapi justru membuat pikirannya semakin tajam. Dia bukan bocah. Dia leluhur. Tapi dia berdarah dan semua yang berdarah bisa dibunuh. Itu celahku. Itu peluangku untuk menang.
Tanpa suit, tubuh Julia terasa lebih hidup—setiap getar besi lantai merambat ke tulangnya, setiap tarikan udara tipis tercium, setiap ayunan pisau tertebak dari potongan angin. Detak jantungnya sendiri bergema seperti genderang perang di telinga.
Di hadapannya, bocah itu berdiri tegak. Ekspresi datar, tenang, seperti permukaan danau mati. Tapi Julia tahu cara membaca ketegangan: otot-otot kecil di leher, napas yang lebih cepat setengah detik. Ada retakan halus di balik topeng dingin itu.
“Cukup main-main,” bisik Julia, serak, hampir seperti geraman.
Ia melesat. Seluruh massa tubuhnya jadi proyektil hidup. Serangan kilat—pisau Andamante berkilau merah, udara mendesis di belakangnya.
NiuNiu menepis gravitasi. Tubuh mungilnya menghilang sekejap, bayangan kabur yang mengejek mata. Julia terhuyung, momentum hampir melemparkannya ke dinding. Tapi ia memutar tubuh dengan kendali sempurna—gerakan predator yang menolak kalah—dan mengayunkan serangan penuh tenaga. Udara bersiul, ruang mesin bergetar.
Dentum.
Ledakan tabrakan dua dunia.
Pisau Julia merobek sisi tubuh NiuNiu—darah menyembur liar, mencoreng logam seperti mural perang. Bocah itu mengerang—suara pertamanya, lirih tapi nyata. Namun balasannya seketika: pisau lipat menusuk dalam ke pundak kiri Julia, masuk seperti taring ular. Tubuh Julia terhempas, menghantam lantai besi dengan benturan yang menggetarkan tulang.
Sakit membakar, menjalar seperti api neraka dari pundak ke seluruh tubuh. Napasnya tercekik, tapi matanya tetap tajam—tajam seperti elang yang meski sayapnya patah masih menukik untuk membunuh.
“Tidak jelek, bocah ningrat cilik… tidak jelek,” desis Julia, menekan luka dengan jari yang licin darah. Kabut napasnya menari di udara dingin, matanya berkilau dengan antusiasme gila—campuran sakit, marah, dan ekstasi.
NiuNiu pun terhuyung, menekan pinggang kirinya yang robek dengan telapak tangan berdarah, tapi senyumnya tetap ada—senyum bocah yang menganggap duel ini permainan yang menyenangkan. Ada kilat gembira di matanya, seperti anak yang menemukan mainan baru.
Julia tersenyum masam, merasakan adrenalin mengalir seperti narkoba alami. Akhirnya. Lawan yang sepadan.
dan Dayan yang bergetar seolah mengerti bahwa pertarungan ini bukan sekadar duel—
tapi tabrakan antara dua prinsip semesta: Yin dan Yang,
VIII. Didymoi Sebagai Bayangan dan Cahaya
Ketegangan pecah seperti kaca dihantam peluru.
Bayangan putih muncul ditengah mereka, tanpa suara, tapi kehadirannya dingin menusuk suhu ruangan. Nanosuitnya menyala samar seperti salju radioaktif, menyerap cahaya—bukan memantulkannya.
Suaranya muncul dari balik helm, datar dan tak bernyawa, seperti gema dari liang kubur antarbintang:
“Cukup. Waktu kalian sudah habis.”
Bukan perintah. Bukan ancaman.
Itu putusan akhir, disampaikan oleh makhluk yang seolah bicara untuk semesta itu sendiri.
NiuNiu menghentikan langkah dengan kesal,
mau apa Sora datang kesini?
Leluhur tua ini selalu mengganggu!
Seperti anak kecil yang baru disadari main terlalu lama. Bibirnya mencibir. Mata menyala. Isyarat kecil ia kirim ke Julia—tepat dan jelas: jangan lanjut.
Julia menggenggam erat pisau Andamante. Ototnya menegang. Insting bertahan hidup menjerit, tapi pelatihan menahan. Otaknya menghitung cepat:
Dua lawan satu.
Ruang sempit.
Satu bisa hyperjump tanpa suit.
Satu full suit Didymoi.
Peluang bertahan: 15%, dengan syarat biarkan mereka bicara dulu.
Helm putih itu mendesis terbuka.
Pria di baliknya seperti bukan manusia biasa. Wajahnya sepucat peta kuno dari galaksi yang sudah padam. Mata birunya dingin dan dalam, seperti danau yang membekukan kapal. Tak ada belas kasih. Tak ada kemarahan. Hanya keputusan.
Di dadanya, lambang Didymoi bersinar seperti sisa supernova—tajam, rapuh, dan masih mampu menghancurkan dunia.
“Sudah terlambat, NiuNiu.”
“The Void sudah bergerak.”
Mereka bertiga menoleh bersamaan ke jendela.
Ruang hitam di luar bergeser. Perlahan. Tapi jelas.
Gerbang The Void tidak lagi diam di tempat. Ia menolak. Mundur. Menjauh dari Dayan—seolah meremehkan upaya NiuNiu.
NiuNiu meledak.
Tinju kecil menghantam tembok baja, meninggalkan lekukan cekung yang berbentuk amarah.
Suara dentumannya seperti teriakan bocah yang kehilangan mainan—tapi kekuatannya cukup membuat Julia mundur satu langkah.
Julia mengatup mulut. Napasnya tak stabil. Tapi pikirannya tetap mencatat satu hal:
Nama bocah ningrat cilik itu… NiuNiu.
Nama kekanakkan untuk makhluk yang bisa membunuh satu regu dalam satu napas.
Kilatan cahaya tiba-tiba membelah langit stasiun.
Ledakan pertama menyusul, mencabik tubuh Dayan seperti daging presto yang dicuil.
Alarm meraung, logam mengaduh, dan semua terasa seperti napas terakhir monster raksasa.
“Stasiun ini akan hancur dalam hitungan menit,” ujar Sora tanpa terguncang.
Ia menoleh, langsung menatap ke mata Julia, menusuk, mengiris.
“Ikut aku, Sersan Julia Rose.”
Nafas Julia terhenti.
Bibirnya gemetar.
Dia tahu namaku.
Dia tahu lebih dari itu—aku yakin.
“Bagaimana kau…?”
Tak ada jawaban.
Hanya tangan dingin menggenggam bahunya.
Genggaman itu tidak kasar. Tapi penuh kuasa. Seperti tangan Tuhan yang tak butuh izin untuk memindahkan nasib.
“Apa ini?!!”
Julia mencoba meronta, tapi tubuhnya menolak perintah.
“Tidak ada waktu.”
Ucapan itu lebih tajam dari peluru. Lebih mutlak dari hukum militer.
Dunia tak pecah kali ini.
Dunia mengecil.
Cahaya tidak menyilaukan—ia merunduk.
Ruang tidak retak—ia melipat pelan, seperti lipatan kertas yang membentuk origami dari realitas.
Tubuh Julia jadi ringan.
Terlalu ringan.
Jantungnya berdetak di tempat yang bukan dadanya.
Suaranya bergema dalam ruang tanpa dinding.
Ia melihat dirinya dari luar.
Melihat Dayan runtuh.
Melihat NiuNiu berdiri.
Melihat dirinya sendiri ditarik keluar dari jalur waktu, seperti nama yang dihapus dari daftar korban.
“Aku hilang,” pikirnya.
“Tapi ke arah mana?”
Ingatan masa kecil bukan berkelebat.
Mereka merapuh.
Ibu.
Adik.
Tanah basah.
Jeritan waktu.
Semua jadi abu.
“Aku bukan Julia Rose. Aku hanya bekasnya.”
Lalu hening.
Benar-benar hening.
Bukan karena tak ada suara, tapi karena seluruh kemungkinan telah diam.
Pasir hangat menyambut tubuhnya yang jatuh. Angin asing membawa aroma yang tidak dikenal—manis, asin, dan sedikit logam. Langit penuh bintang tak dikenal berkedip seperti mata raksasa yang mengawasi. Julia terjerembab, menggigil dalam dingin yang bukan dingin fisik tapi dingin eksistensial. Pisau lipat Andamante tertancap di pasir di depan wajahnya, bilahnya memantulkan cahaya bintang asing.
Di sebelahnya, Sora duduk tenang, seperti tidak terjadi apa-apa—seolah hyperjump adalah hal senatural bernapas baginya.
“Di mana ini?” Julia bergumam, suaranya serak seperti kertas pasir. Lidahnya terasa asing di dalam mulut sendiri.
Pria itu menatap langit sejenak, seperti membaca peta di atas sana, lalu kembali padanya dengan mata yang dalam. “Lebih aman dari Dayan. Tapi hanya sebentar.” Nada suaranya seperti menyampaikan ramalan cuaca.
Semua kehilangan, kebingungan, dan amarah yang ditahan akhirnya meledak. Julia menggeram seperti binatang terpojok, matanya berkaca-kaca—bukan karena sedih, tapi karena murka yang sudah melampaui ambang batas.
“Kau membawaku ke sini—kenapa?! Kalian Didymoi pembunuh! Kalian yang menghancurkan keluargaku!”
Tangannya melesat. Pisau lipat berkilat, meluncur ke mata pria itu—garis tipis kematian yang ditarik oleh dendam.
Tapi detik itu retak.
Bilah berhenti di udara, milimeter dari kulit Sora—seolah dinding tak kasat mata menahan. Otot Julia membeku, darah melambat seperti madu. Nafasnya tercekat. Ia mencoba mendorong dengan segenap tenaga, namun tubuhnya menolak—seperti mimpi buruk di mana kau berlari, tapi kakimu tenggelam dalam lumpur.
Pria itu maju, menempelkan dahi pada ujung pisau. Tatapannya menusuk lurus ke jiwa Julia—tenang, tak terguncang, seolah waktu tunduk padanya.
“Sersan Julia Rose.” Suaranya dalam, berat, gema dari ruang tak berbatas. “Kau tak bisa kembali ke hidup lamamu. Semua yang dulu kau kenal akan memburumu seperti anjing gila. Dayan terkubur lebih dalam dari kuburan mana pun. Dan kau… kau satu-satunya Vrishchik yang pernah menjejak sana.”
Ia berhenti. Jeda itu seperti racun manis yang meresap ke nadi.
“Ingat: Didymoi adalah masa depanmu. Satu-satunya masa depan yang tersisa.”
Kata-kata itu menghantam Julia seperti meteor menghantam bumi. Nafasnya pecah jadi serpihan. Seluruh identitasnya sebagai Vrishchik—kebenciannya pada Didymoi—runtuh seperti istana pasir disiram gelombang.
Teriakan meledak. Suara binatang yang terluka, putus asa, marah. Ia melempar pisau lipatnya ke pasir dengan kekuatan penuh. Lalu, dalam momen kegilaan yang akan menghantuinya selamanya—ia memagut bibir Sora.
Bukan serangan. Bukan kelembutan. Hanya luapan gila—amarah, kehilangan, ketakutan, keputusasaan—semua tumpah dalam satu tindakan yang melawan akal sehat.
Sora tidak menghindar. Tidak menahan. Ia malah membalas—sentuhan ringan, nyaris tak nyata, seperti angin menyentuh permukaan air. Dan justru itu yang menghancurkan Julia. Kelembutan di tengah kekacauan. Kehangatan di dingin kosmik.
Amarah, kehilangan, dan putus asa menumpuk, lalu berganti dengan sensasi lain yang asing: rasa hidup. Untuk pertama kalinya sejak menginjakkan kaki di Dayan, ia merasa benar-benar hidup—seperti listrik yang mengalir di pembuluh darah yang sudah lama mati rasa.
IX. Pelukan Dalam Ledakan
Suara ledakan jauh merobek keheningan gurun seperti guntur yang tidak sabar.
Pasir menggulung. Langit terbelah. Realitas berputar seperti pita film yang meleleh dalam proyektor rusak.
Lalu—tarikan paksa.
Dunia mengerut. Gurun tercabik. Waktu tercekat.
Dalam sekejap yang lebih lama dari keabadian, Julia dijatuhkan kembali ke kenyataan.
Dayan menyambut mereka—bukan sebagai stasiun, tapi sebagai kuburan yang sudah terbuka.
Dinding-dindingnya retak seperti tulang tengkorak yang pernah mencoba melindungi sesuatu.
Puing-puing melayang lambat, seperti sisa-sisa peradaban yang gagal.
Jendela melengkung ke dalam, seolah semesta mencoba menghisap sisa-sisa harapan keluar.
Alarm meraung.
Bukan bunyi sirine—tapi teriakan bangkai yang belum ikhlas mati.
Julia membelalakkan mata.
Dadanya terangkat turun cepat.
Tubuhnya menggigil, bukan karena suhu—tapi karena disorientasi eksistensial.
Baru saja ia berada di pasir hangat yang absurd, lalu kini kembali menjejak logam dingin yang menganga.
“Tidak mungkin… kita kembali?”
Suara itu keluar sebagai bisikan serak—lebih mirip doa yang patah.
Tangannya meraba lantai—tajam, pecah, familiar.
Semua ini nyata.
Di sampingnya, pria Didymoi telah berdiri. Helmnya tertutup rapat kembali—wajah tak terlihat, tapi aura tetap terasa:
dingin, final, tak tergoyahkan.
Julia menoleh pelan, matanya masih keruh seperti kaca yang baru dibersihkan badai.
“Apa yang terjadi…?”
Pertanyaan itu bukan permintaan penjelasan.
Itu semacam bisikan untuk dirinya sendiri, mencoba memastikan bahwa dunia belum sepenuhnya gila.
Dari sudut pandang yang kabur, Julia menangkap sosok NiuNiu—bersandar pada dinding baja dengan posisi santai yang kontras dengan situasi. Darah masih menodai telapak kirinya tapi kulitnya terlihat utuh, seolah luka hanyalah ilusi atau mimpi yang sudah berlalu. Wajahnya beku seperti es yang tidak pernah mencair, bosan seperti anak yang menonton film yang sama untuk keseribu kalinya. Hanya matanya yang menyala dingin seperti batu permata di kegelapan, menatap Julia dan pria itu dengan sesuatu yang tak bisa ditafsirkan—mungkin hiburan, mungkin perhitungan, mungkin sesuatu yang lebih gelap.
Ada ketegangan yang tak terucap menggantung di udara di antara NiuNiu dan pria ini—seperti dua magnet yang tolak menolak. Julia sadar dengan perasaan aneh—tangannya masih digenggam pria Didymoi disebelahnya, jemari mereka terjalin seperti sepasang kekasih. Kehangatan itu terasa asing setelah bertahun-tahun hidup dalam kedinginan profesional.
Lalu, perlahan seperti ritual yang sakral, Sora menarik Julia lebih dekat ke arah NiuNiu, sebelum akhirnya melepaskan genggamannya dengan kelembutan yang tak terduga. Dari balik helm nanosuitnya pria itu menatap bocah ningrat cilik dengan intensitas yang membakar, lalu berkata tenang seperti hakim yang menjatuhkan vonnis:
“Urusanku selesai. Sisanya—kuserahkan padamu.”
Kata-kata itu menusuk Julia tanpa makna yang jelas, meninggalkannya terapung dalam kebingungan yang semakin dalam. Apa maksudnya? Diserahkan untuk apa?
Lalu dunia pecah seperti cermin yang dihantam palu.
Rentetan peluru menghujani Dayan—bukan suara, tapi badai logam yang mencabik apa saja.
Ledakan-ledakan beruntun mengguncang ruang seperti tulang-tulang raksasa dipatahkan. Api dan puing beterbangan seperti konfeti kematian.
Di tengah kekacauan itu Julia sempat menangkapnya—tubuh pria Didymoi ditembus proyektil. Suitnya pecah seperti kulit dikuliti. Cairan putih menetes dari helm yang retak, lambat seperti susu tumpah di ruang hampa.
Refleks Julia menutup mata.
Napasnya tercekat.
Ini akhirku.
Mati di bawah hujan peluru. Mati di stasiun yang runtuh. Mati seperti prajurit yang lupa doa.
Senyap.
Gelombang panas menyapu tubuhnya seperti napas binatang terluka. Dalam kegelapan di balik kelopak mata, Julia menemukan sesuatu yang menyerupai kedamaian—kelegaan pahit seorang prajurit yang akhirnya selesai.
Lalu ia membuka mata.
Bukan peluru.
Bukan api.
Mata NiuNiu—bening, dingin, terlalu dekat.
Tangan kecilnya membungkus tubuh Julia erat, bukan untuk menyerang, tapi untuk melindungi, menciptakan ruang kosong di tengah badai.
Hening itu pecah jadi sesuatu lain.
Dunia kabur, bukan karena ledakan, tapi karena lompatan.
Gambar-gambar di sekeliling mereka meleleh seperti cat air diguyur hujan. Tekstur ruang robek seperti kaca tipis. Mereka tidak melangkah ke hyperjump—hyperjump melahap mereka.
Tanpa suit.
Julia sempat menghirup rasa aneh itu.
Bukan dingin. Bukan panas. Tapi sesuatu yang lebih tua dari keduanya—lipatan realitas yang menjahit tubuh mereka menjadi satu garis.
Ledakan Dayan tertinggal di belakang seperti kenangan buruk yang terhapus. Yang tersisa hanya jangkar kecil itu: dekapan bocah Didymoi. Titik fokus di tengah pusaran dimensi.
Sensasi itu familier. Menakutkan. Sama seperti saat pria putih memeluknya di gurun yang tidak nyata. Tapi kali ini, bukan tangan pria. Ini tangan bocah ningrat Didymoi.
Dan Julia merasakannya:
Rasa aman.
Ironi paling tajam: untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, justru di pelukan musuh ia merasa benar-benar terlindungi.
Akhir dari Bab 2.0: Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.
Notes WIP untuk lanjut nulis:
