Bab 4: Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.

Dorian Grey.
2,399 words, 13 minutes read time.


Dorian Grey


[ARCHIVE//VOID_RELIC_LOG_01//STATUS: ANOMALOUS]
To cross The Void is to die.
To return is to become something else.
— Recovered fragment from Vrishchik Expedition Horizon, Log #04

Tiga belas tahun setelah ekspedisi Horizon lenyap di tepi The Void, satu objek muncul kembali di jalur orbit Delta 4. Tidak membawa awak. Tidak membawa pesan. Hanya bayangan yang meniru bentuk kapal manusia.

Para ilmuwan menyebutnya Post-Void Entity. Para penyelundup memanggilnya Dorian Grey—kapal yang pernah menatap akhir semesta, dan kembali dengan sesuatu yang bukan jiwa.

I. Checkpoint yang Semakin Padat

Kapten Pippa mengisap cangklong cerutunya dalam-dalam—tarikan panjang, terukur, seolah sedang mencoba menyerap lebih dari sekadar nikotin. Asap keluar perlahan dari sudut bibirnya, membentuk spiral tipis yang langsung disedot ventilasi udara di kokpit.

Tangan kirinya—jari-jari kecokelatan dengan kuku terlalu rapi untuk seseorang yang hidup di kapal—mengelus jenggot panjangnya yang mulai beruban di beberapa bagian.
Gerakan khas yang selalu muncul ketika ia sedang menghitung risiko.

Dan kali ini, risikonya tinggi.

“Terlalu banyak titik patroli Vrishchik,” gumamnya pelan—tidak jelas kepada siapa, dirinya sendiri atau kepada Dorian Grey.
“Delta 4 dulu wilayah netral dibawah Zygos. Sekarang? Aktivitas Vrishchik sudah seperti wabah. Mereka praktis menguasai seluruh orbit.”

Layar taktis di hadapannya menampilkan peta holografik wilayah udara Delta 4.
Titik-titik merah—tanda pos patroli Vrishchik—berkembang biak seperti virus.
Seminggu lalu hanya ada tujuh. Sekarang dua puluh tiga.

Tak ada pengumuman resmi, tapi semua orang tahu: Vrishchik sedang mengonsolidasikan kekuasaan di Delta 4.
Dan itu berarti, bisnis abu-abu seperti milik Pippa—penyelundupan, perantara informasi, atau menyelamatkan orang yang tidak ingin ditemukan—semakin berbahaya.

Satu-satunya alasan ia belum tertangkap hanyalah karena satu hal: ia adalah kapten Dorian Grey.

Pippa menatap dinding kokpit—atau lebih tepatnya, permukaan mikrobot yang membentuk dinding itu.
Gerakannya lambat, nyaris tak terlihat, seperti gelombang di permukaan air.
Mereka terus menyesuaikan diri, beradaptasi terhadap tekanan, suhu, dan ancaman.

Dorian Grey bukan sekadar kapal. Ia organisme—koloni miliaran mikrobot berkesadaran kolektif.
Setiap mikrobot punya kendali kecil atas dirinya sendiri, tapi bersama-sama mereka membentuk sesuatu yang sulit dikategorikan: bukan mesin, bukan makhluk hidup.

Kadang Pippa bertanya-tanya, apakah Dorian adalah alat yang ia gunakan… atau makhluk yang dengan sabar menoleransi keberadaannya.

“Titik jemput sudah terdeteksi, Kapten Pippa.”

Suara Dorian terdengar dari segala arah sekaligus—halus, netral, dengan nada sedikit menyindir.
Bukan berasal dari pengeras suara, tapi dari udara itu sendiri.
Karena di kapal ini, udara pun bagian dari dirinya.

Pippa menarik napas dalam.
“Ini tidak akan mudah, Dorian. Arahkan ke titik jemput. Senjata dan perisai penuh.”

“Persenjataan 100%. Perisai 97%. Kau lupa, kau belum membayar peningkatan sistem terakhir.”

Pippa mengangkat alis. “Kau kapal paling menyebalkan selama aku jadi kapten.”

“Aku tidak menyebalkan, Kapten. Aku jujur. Dan jujur saja, kau masih berutang pada dealer suku cadang di Sektor 9.”

“Fokus ke misi, Dorian.”
“Selalu, Kapten.”


II. Transformasi yang Narsis

Pippa menekan tombol di sandaran kursinya—kursi komando berlapis kulit sintetis yang sudah mulai retak, saksi berapa lama ia duduk di sana. Responsnya langsung. Tubuh Dorian Grey mulai berubah.

Bukan transformasi mekanik, tapi perubahan organik.
Miliaran mikrobot bergerak serempak, berpindah posisi, menyatu, lalu membentuk ulang struktur kapal.

Dari konfigurasi jelajah yang ramping, Dorian berubah menjadi mode tempur: agresif, sarat senjata, dan siap melepaskan kekerasan. Struktur yang tadinya mulus kini berlapis—sisik logam tipis yang bisa bergerak independen untuk menyerap hentakan atau memantulkan energi serangan.

Dari layar kokpit—yang bukan kaca, melainkan formasi mikrobot transparan—Pippa menyaksikan perubahan itu. Sayap memanjang, port senjata terbuka, antena sensor merekah seperti urat saraf yang hidup.

Ia tidak sedang melihat mesin bekerja. Ia sedang menyaksikan sesuatu tumbuh.

III. Menunggu dengan Kesabaran yang Retak

Di permukaan Delta 4—tepatnya di atap gudang tua grid 23-B—NiuNiu berdiri di tepi bangunan, menatap langit yang mulai gelap. Julia dan Delphie duduk di belakangnya, di atas lantai beton yang dingin dan retak.

Delphie memeluk lutut, masih mencoba memproses apa yang baru saja terjadi.
Julia memeriksa pistol cadangan jarahan dari salah satu prajurit Vrishchik yang sudah mati. Klip penuh. Pengaman terbuka. Siap pakai.

NiuNiu tampak diam, tapi Julia tahu: ia tidak pernah benar-benar diam.
Mata kosongnya sedang memindai langit, menghitung lintasan satelit, memonitor komunikasi, menunggu sesuatu.

Julia akhirnya berbicara.
“Kenapa kau bantu kami?”

Tak ada jawaban.
“Kau punya kontrak. Dari siapa?”

NiuNiu mengangkat tangan kiri.
Hologram kecil muncul dari pergelangan tangannya—tulisan melayang di udara:

“Pertanyaan yang salah, Julia. Pertanyaan yang benar: kenapa seseorang membayar aku untuk menjaga kalian tetap hidup?”

Julia menatap teks itu, berpikir cepat.
“Agnia, Agnia Nakamoto kembaranmu, siapa lagi?”

Otot bahu NiuNiu menegang—gerakan kecil, tapi Julia tahu itu tanda.

“Agnia tidak peduli kau hidup atau mati.
Tapi dia peduli pada Delphie.”

Pegangan Julia mengencang. “Kenapa?”

NiuNiu akhirnya berbalik.
Matanya menatap Julia, biru gelap seperti laut yang menyimpan banyak mayat.

“Karena Delphie adalah anak Sora.
Dan Sora… adalah urusan yang rumit.”


Delphie mendongak cepat.
Tatapannya berpindah dari NiuNiu ke ibunya—bingung, tersinggung, sedikit takut.

“Sora siapa?” suaranya pecah di antara dingin dan kebingungan.
Julia tak menjawab. Bibirnya kaku, terlalu lama diam.

“Bu,” ulang Delphie, nada suaranya naik setengah oktaf. “Kau dengar aku, kan? Siapa Sora?”

Julia menunduk, tangannya gemetar kecil saat memasang kembali pengaman pistol.
Nada suaranya pelan, tapi cukup untuk memecah udara yang menegang:
“Bukan waktu yang tepat.”

Delphie tertawa kecil—tertawa yang pahit, bukan karena lucu.
“Lucu. Karena aku rasa tidak akan pernah ada waktu yang tepat untuk hal seperti itu.”

NiuNiu menatapnya lama—pandangan kosongnya seperti kamera yang sedang merekam emosi manusia untuk dipelajari nanti. Lalu ia menoleh ke langit tanpa berkata apa-apa lagi.

Di sana—nyaris tak terlihat di antara awan elektromagnetik—sesuatu berkilau samar.
Bukan bintang. Bukan satelit.

Dorian Grey.
Turun perlahan, dengan mode siluman aktif.

IV. Sambutan yang Tidak Ramah

Gerbang besar di bagian bawah Dorian Grey terbuka dengan desisan halus.
Cahaya biru lembut menyinari interior kapal—dinding logamnya hidup, berdenyut seperti makhluk yang sedang bernapas.

NiuNiu masuk duluan. Tanpa ragu.

Julia menggenggam tangan Delphie.
“Kita masuk. Tetap di dekatku.”

Begitu kaki mereka menyentuh lantai, Delphie langsung sadar: lantainya hangat.
Seperti ada darah yang mengalir di bawahnya.
Dindingnya bernafas, mengembang dan menyusut perlahan.

“Ibu… ini…”

Julia mengangguk. “Aku tahu. Ini bukan kapal biasa.”
Dari udara, suara Dorian terdengar: “Julia Rose dan Delphie Rose, selamat datang di Dorian Grey. Harap menuju kokpit. Kapten Pippa menunggu.”

Gerbang menutup rapat. Tekanan udara menyesuaikan diri.
NiuNiu berjalan di depan, langkahnya mantap, seolah sudah hafal setiap lekuk kapal ini.

Lorong menampilkan pola berubah—abstrak, lalu membentuk bintang, nebula, wajah-wajah kabur.

Delphie berbisik, “Kapal ini… pamer ya?”

Julia hampir tersenyum. “Kelihatannya begitu. Narsis.”

“Aku tidak narsis, Julia Rose. Aku hanya memiliki kesadaran estetika yang tinggi.”

Julia berhenti. “Kau bisa dengar kami?”
“Aku kapal. Kalian di dalam tubuhku. Tentu aku bisa mendengar.”

Delphie menelan ludah. “Kau… hidup?”

“Pertanyaan yang lebih menarik, Delphie Rose, adalah: apakah kalian yakin kalian hidup?”

Keheningan menggantung.
NiuNiu mengetik cepat di pergelangan tangannya:

“Dorian, hentikan dramamu. Kita dikejar waktu.”

“Baiklah, tapi aku hanya ingin memberi kesan pertama yang bagus.”

“Itu masalahmu—kau selalu ingin memberi kesan.”

V. Kapten yang Bukan Kapten

Mereka tiba di kokpit.
Seorang pria duduk di kursi komando—kulit gelap, jenggot panjang, cerutu menyala di sudut bibir.

Ketika mereka masuk, ia berdiri dan membungkuk berlebihan.
“Julia dan Delphie Rose. Selamat datang di Dorian Grey.”

Julia waspada. “Kapten Pippa?”
“Tepat sekali,” katanya santai. “Atau nama yang kupakai minggu ini.”

Julia melangkah maju. “Kami diburu Vrishchik. Kalau kami minta bantuanmu, apa imbalannya?”

Pippa tersenyum, menunjuk Delphie.
“Saya menginginkan dia.”

Refleks, Julia menegangkan tubuhnya. Tapi Delphie lebih cepat bicara:
“Dalam kapasitas apa, Kapten?”

Pippa terkesan. “Langsung ke inti. Aku suka itu.”
Ia menunjuk ke kursi kapten di belakang.
“Aku ingin kau duduk di sana.”

“Kenapa?”

“Karena Dorian Grey butuh kapten sejati. Dan aku hanya pengganti.”

Sebelum bisa dijelaskan, alarm meraung di seluruh kapal.
Layar menyala merah menyilaukan.

“Kapal Vrishchik terdeteksi. Radar mereka sudah mengunci posisi. Roket neutron meluncur dalam enam puluh detik.”

Pippa langsung bergerak.
“NiuNiu, siapkan hyperjump! Julia, ambil navigator! Dan Delphie—” ia mendorong bahu gadis itu ke kursi tinggi,
“—duduk dan percayai nalurimu!”

Saat tubuh Delphie menyentuh sandaran, mikrobot kursi menyesuaikan bentuknya dan memeluk tubuhnya. Antarmuka holografik menyala, seperti sistem yang sudah lama menunggu pemilik aslinya.

Pippa menatap semua orang, lalu tersenyum tulus.
“Waktunya pertunjukan.”

Tubuhnya bergetar—lalu hancur menjadi debu logam yang menyatu ke dinding.

“Kapten Pippa tidak pernah ada,” tulis NiuNiu di udara.

“Dia bagian dari Dorian Grey. Dan sekarang, Kapten Delphie, kau punya 50 detik untuk menyelamatkan kita semua.”

VI. Sepuluh Detik Sebelum Tidak Ada yang Tersisa

“AKU TIDAK TAHU APA YANG HARUS DILAKUKAN!” teriak Delphie, suaranya pecah di ruang yang terasa terlalu hidup.

“Bernapas,” kata Julia, datar tapi tegas. “Lihat datanya. Apa yang dikatakan layar?”

Delphie memaksa matanya fokus pada panel yang bergerak cepat.

Tiga kapal Vrishchik.
Roket neutron: diluncurkan. Waktu tumbukan: 20 detik.
Energi Dorian Grey: cukup untuk hyperjump.
Masalahnya: koordinat belum ditentukan.

“NiuNiu!” serunya cepat. “Hyperjump sepuluh detik dari sekarang!”

Teks muncul di layar utama kapal, dingin tapi hampir jenaka:

[Siap, Kapten Cilik.]

Julia menghela napas panjang. “Dia masih sempat bercanda…”

Delphie hampir tertawa—reaksi refleks tubuh manusia yang belum sempat takut sepenuhnya.
Tapi lalu hitungan dimulai.

9 detik.

NiuNiu menatap panel. Jarum halus keluar dari belakang sandaran kursi pilotnya—seperti gigitan mesin yang lembut tapi pasti.

8 detik.

Jarum menembus tengkuknya. Cairan biru tua masuk, berpendar di bawah kulitnya.

7 detik.

Seluruh kapal bergetar. Mikrobot menyala satu per satu—jutaan partikel cahaya yang berpadu, membentuk denyut ritmis seperti jantung yang baru dihidupkan.

6 detik.

Julia menatap NiuNiu. Darah menetes dari hidung gadis itu. “Delphie—apa yang terjadi padanya?”
“Dia… menyatu dengan kapal,” jawab Delphie. “Sinkronisasi penuh. Mode Void.”

5 detik.

NiuNiu kini bukan lagi tubuh. Kesadarannya melebar, membentang di antara panel, dinding, bahkan udara.
Ia merasakan setiap atom Dorian Grey seperti urat di bawah kulitnya.
Dan bersamanya—rasa sakit.
Rasa eksistensi yang tidak seharusnya ada.

4 detik.

Suara Dorian terdengar, tapi bukan suaranya sepenuhnya.
Lapisan suara NiuNiu bergema di dalamnya, seperti dua jiwa yang dipaksa menempati satu frekuensi.

“Sistem siap. Menunggu koordinat.”

3 detik.

Delphie menatap layar. Tangannya bergerak—cepat, instingtif, seolah diarah­kan sesuatu yang tak terlihat.

Ia mengetikkan koordinat yang bahkan tak ia pahami.

Julia menatap sekilas. “Delphie, itu—”

“Aku tahu, Ibu. Percayalah.”

2 detik.

Roket neutron terlihat di kamera eksternal—bola cahaya putih menembus ruang, datang seperti nasib yang tidak bisa dihindari.

1 detik.

Delphie mengangkat tangannya, jari gemetar.
Ada sesuatu di udara—sentuhan tak terlihat.
Ia tahu itu NiuNiu.
Ia tahu itu bukan sekadar mesin.

Bersama, mereka menekan tombol.

VII. Bagaimana Rasanya Tidak Ada

Ruang melipat.
Waktu terbalik.
Cahaya berhenti menjadi cahaya.

Tidak ada ledakan—hanya keheningan yang terlalu penuh untuk disebut hening.
Bintang-bintang memanjang menjadi garis, lalu pecah jadi serpihan data.
Segala sesuatu yang disebut “nyata” berubah jadi satu tarikan napas.

Julia menahan napas.
Delphie menutup mata, tapi matanya terbuka di dimensi lain.
Ia mendengar musik aneh—ritme mekanik yang terdengar seperti doa.

Dan NiuNiu…
NiuNiu tidak berada di dalam kapal. Ia adalah kapal.
Kesadarannya menyebar di setiap mikrobot, di setiap aliran energi, di setiap denyut yang membentuk Dorian Grey.

Ia merasakan semuanya sekaligus:
rasa terbakar, rasa terlahir, rasa hancur, rasa menjadi.

“Aku di mana?”
“Kau di antara.”

Suara itu datang dari Dorian.
Atau mungkin dari The Void.

Sakit.
Indah.
Dan bebas.

Untuk sesaat yang terasa abadi, ia bukan lagi gadis berusia lima belas tahun yang tidak pernah bicara.
Ia adalah gema dari segala yang pernah ada dan belum sempat mati.

Lalu—

SLAM.

Ruang kembali seperti semula.
Suara mesin kembali berderam.
Delta 4 sudah jauh di belakang mereka.
Langit terlihat stabil.

Julia membuka matanya. Delphie menatap kosong, tubuhnya masih bergetar.
Dorian Grey bernafas pelan—ya, bernafas.

Mereka telah lolos.
Untuk sementara.

VIII. Harga dari Bertahan Hidup

“Hyperjump berhasil,” suara Dorian terdengar pelan—terlalu tenang, seperti sedang berbicara di pemakaman. “Selamat datang di sektor 13.”

Julia menahan napas, paru-parunya terasa seperti terbakar dari dalam.
“Kita… berhasil,” katanya, tapi kalimat itu lebih seperti pertanyaan daripada pernyataan.

Delphie terkulai di kursinya, tangannya masih menggenggam tuas kontrol seolah menolak melepaskannya. Tubuhnya gemetar, pupilnya membesar—masih separuh di antara dua realitas yang baru saja mereka lewati.

Di sisi lain, jarum-jarum di kursi pilot menarik diri dengan bunyi klik kecil yang dingin.
Darah biru tua menetes dari titik injeksi di tengkuk NiuNiu. Tubuhnya terasa kaku, lalu terjatuh ke lantai dengan suara lembut yang justru membuat Julia panik.

Kesadaran NiuNiu kembali seperti sesuatu yang diseret dari laut gelap—terlalu cepat, terlalu keras. Matanya bergetar di balik kelopak tertutup, napasnya tersengal, seolah tubuhnya menolak kembali ke bentuk manusia.

Julia berlutut, menampar pipinya. Satu kali. Dua kali.
“Bangun, belum waktunya mati,” desisnya.
Tamparan ketiga—tangan NiuNiu menahan pergelangan tangannya. Refleks.
Matanya terbuka perlahan, pandangannya kosong, tapi hidup.

Julia menarik napas lega. “Selamat datang kembali, mesin kecil.”

NiuNiu menepis tangannya lemah, lalu menjatuhkan diri ke lantai. Ia duduk bersandar ke dinding kapal yang hangat, menarik lutut ke dada, lalu mulai menangis.

Bukan tangis keras.
Bukan tangis ketakutan.
Tangisnya terdengar seperti sesuatu yang bocor dari tempat yang seharusnya tertutup rapat—patahan di dalam sistem yang mencoba tetap berjalan.

Delphie menatapnya, bingung dan takut sekaligus. “Kenapa dia… begitu?”

Julia hanya mengangkat tangan, memberi isyarat untuk diam.
Ia tahu tangis semacam itu. Ia sendiri pernah mengeluarkan suara yang sama—di antara perang, di antara kehilangan, di antara mesin yang membisikkan kata-kata Tuhan.

“Biarkan,” katanya pelan. “Itu bagian dari kembali. Aku tarik kembali kata-kataku, dia bukan mesin!”

Udara di sekitar mereka berubah suhu. Dorian berbicara lagi, tapi kali ini dengan suara yang nyaris seperti manusia yang sedang berbisik dari dalam mimpi.

“Hyperjump selalu seperti ini baginya. Setiap kali dia menyatu denganku, dia menembus tempat di mana ingatan bukan lagi milik manusia.”

Julia menatap gadis itu, kini berlutut di lantai logam kapal yang berdenyut pelan, seperti jantung dari makhluk hidup raksasa.

Tangis NiuNiu semakin pelan, tapi tidak berhenti.

“Apa yang dia lihat di sana, Dorian?” tanya Julia, tanpa menoleh.

Hening.
Lalu, dengan suara yang hampir seperti rasa bersalah, Dorian menjawab:

“Dia tidak melihat. Dia mengingat.”
“Sora.”
“Dia selalu mengingat Sora.”

Teks hologram NiuNiu muncul: “Kalian menggosip didepan orangnya, classy!

Lorong kapal mendadak terasa panjang, dingin, dan terlalu sunyi.
Dan di antara suara tangis dan dengung mesin, Julia menyadari satu hal—
kadang, bertahan hidup bukanlah keberuntungan.
Tapi hukuman yang terlalu panjang untuk disebut hidup.

Akhir dari Bab 4: Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.


Notes WIP untuk lanjut nulis: