
Pukulan yang Mengunci
[ARCHIVE//PARTHENON_Δ-LOG 2012X//CLASSIFIED: DIVINE REBELLION]
“Tiga dewa yang saling membenci sepakat pada satu hal: Tuhan perlu mati.”
— Rekaman terakhir sebelum Eye of the Void diaktifkan
I. Aula yang Terlupakan
Aula Parthenon terasa seperti makam yang masih bernapas. Dinding-dinding kristalnya bergetar lembut, menyimpan gema dari ribuan tahun, bercahaya pelan seperti napas seseorang yang belum rela pergi.
Udara di dalam ruangan berat — campuran antara logam, debu, dan sesuatu yang lebih tua dari cahaya itu sendiri.
Akashic Records mengingat. Parthenon mencatat.
Kalau Akashic Records adalah lautan memori, maka Parthenon adalah pena yang menulis di atas permukaannya. Setiap kata yang diucapkan di sini hidup — dan tidak bisa dihapus.
Cahaya kristal memantul di wajah Agnia, mahkotanya berkilau redup, bukan tanda kekuasaan, melainkan simbol penyesalan yang tak hilang.
Di depannya berdiri NiuNiu — diam, tapi tegang. Di bawah kulitnya, resonansi Void masih berdenyut, menolak padam.
Dua sosok yang sama. Dipisahkan oleh sejarah, disatukan oleh dosa.
Julia dan Delphie berdiri di sisi ruangan, kaku seperti patung. Gwaneum duduk bersila di lantai, matanya terpejam, membaca doa dalam bahasa yang bahkan Tuhan sudah lupa.
Di sudut ruangan, Sevraya bersandar pada dinding. Asap rokoknya naik perlahan, memantul di permukaan kristal. Matanya yang abu muda berputar pelan, seperti sedang membaca tulisan tak kasat mata.
II. Dua Api yang Tak Pernah Padam
Agnia memecah keheningan. Suaranya dingin, tapi ada sesuatu di dalamnya — ketakutan yang ia sembunyikan dengan rapi.
“Kenapa kau selamatkan dia, Julia? Di Dayan. Kau punya kontrak dariku. Bayarannya cukup untuk membangun kerajaan baru. Tapi kau pilih menyelamatkannya. Kenapa?”
Julia belum sempat menjawab. NiuNiu sudah bergerak lebih cepat dari pikiran siapa pun.
Pisau logam Andamante melesat seperti kilat ke arah leher Agnia. Tapi Agnia juga bukan manusia biasa. Tubuhnya memutar dengan refleks sempurna, pisau dari sarungnya sendiri terhunus. Dua bilah bertemu dalam dentuman logam yang berdenging memecahkan kristal kecil di dinding.
Cahaya ruangan berkedip — Parthenon seakan menonton.
Tinju NiuNiu menghantam rahang Agnia. Suara retaknya tajam, memantul di dinding seperti nada pertama dari simfoni yang berbahaya. Agnia mundur, darah mengalir dari bibirnya, tapi ia tidak jatuh. Ia membalas dengan tendangan ke perut NiuNiu, mengirim kembarnya dua langkah ke belakang.
“Kau terlalu lemah,” desis Agnia sambil menyeka darah.
“Kau iri!” “Sora memilihku!”
NiuNiu membalas dengan pukulan keras ke dada Agnia.
“Sora mati karena kau! Karena kau tak menariknya keluar dari Dayan!”
Mereka bergulat. Darah bercampur. Napas terengah. Kristal di dinding mulai retak. Cahaya berganti warna, berkedip seperti kilat di ruang tertutup.
Sampai sebuah tangan menahan bilah Andamante yang hendak menembus leher Agnia.
Sevraya.
“Cukup,” katanya pelan.
Suara itu tenang — tapi semua langsung berhenti. Cahaya di dinding bergeser. Huruf-huruf kuno muncul sesaat. Parthenon mencatat kata itu.
III. Tiga Dewa, Satu Luka
Sevraya menatap mereka berdua.
“Kalian tidak pernah berubah. Dunia sudah berganti, tapi amarah kalian tetap sama.”
NiuNiu diam. Matanya memantulkan wajah Sevraya — bukan manusia di sana, tapi ombak gelap yang terus menggulung.
“Kalian masih memainkan naskah lama,” lanjut Sevraya. “Agnia si ratu, NiuNiu si korban.”
Agnia tersenyum getir.
“Dan kau? Penulis naskahnya? Pengkhianat hidup yang pura-pura jadi penengah?”
Sevraya membalas dengan senyum dingin.
“Aku cuma tinta. Parthenon yang menulis, bukan aku.”
Delphie menatapnya dengan heran.
“Parthenon… mencatat?”
Sevraya:
“Akashic Records menyimpan semua yang pernah ada. Tapi Parthenon menulis ulang hal-hal yang tidak seharusnya ada. Setiap darah yang jatuh di sini menjadi kalimat baru dalam sejarah Didymoi.”
Gwaneum berkata tanpa membuka mata:
“Dan sejarah tidak menulis dengan tinta hitam. Ia menulis dengan rasa bersalah.”
IV. Luka yang Tidak Sembuh
Agnia melangkah maju.
“Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan di Aeonexus? Mereka menyebutmu tawanan, tapi semua tahu kau yang memerintah planet itu.”
Sevraya:
“Tawanan, ratu, penguasa — semuanya sama saja. Bentuk lain dari kendali. Setidaknya aku tahu siapa yang mengikatku.”
Agnia:
“Sora?”
Sevraya tersenyum pahit:
“Mahluk satu-satunya yang membuatku lupa bagaimana tidak enak rasanya jadi dewa.”
NiuNiu mengetik cepat di gelang hologramnya.
NiuNiu mengetik:
“Kau cuma ingin tahu rasanya punya jantung yang berdebar.”
Agnia:
“Kau iri, Niu?”
NiuNiu mengetik:
“Tidak. Aku muak melihat kalian menyebut pengkhianatan sebagai strategi.”
V. Tusukan yang menyatukan
Hening. Waktu berhenti.
NiuNiu bergerak lagi — bukan karena marah, tapi karena sesuatu di dalam dirinya merespons panggilan yang lebih dalam.
Andamante menyambar udara. Sevraya tidak menghindar. Tangannya menahan bilah itu. Darahnya menetes ke lantai kristal.
Dan Parthenon bereaksi.
Kristal di bawah kaki mereka menyala biru tua. Tulisan kuno muncul, membentuk segel bercahaya. Segel yang Meminta Darah.
“Sekarang kita bertiga terikat lagi,” bisik Sevraya.
Agnia mundur setengah langkah.
“Kau gila. Segel itu milik Void. Itu perangkap!”
Sevraya:
“Bukan perangkap. Catatan. Setiap luka yang kita buat di sini akan ditulis ulang oleh Parthenon, agar tak dilupakan.”
Julia:
“Jadi ini cara semesta mengingat dosa?”
Sevraya:
“Bukan semesta, hanya kita, Julia. Akashic Records hanya menyimpan. Tapi Parthenon menulis ulang. Ia tak pernah lupa siapa yang menumpahkan darah lebih dulu.”
VI. Resonansi Terakhir
Layar holografik di Parthenon menyala dengan koordinat baru:
[HIMLER//CORE_FLEET_POSITION]
[ESTIMASI WAKTU: 72 JAM MENUJU KONTAK PERTAMA]
[PROBABILITAS KEMATIAN: 94.7%]
[PROBABILITAS SUKSES: 1.2%]
[PROBABILITAS SEMESTA RUNTUH: TIDAK TERUKUR]
Sevraya menatap angka itu dan tersenyum. “Aku suka odds ini. Cukup rendah untuk jadi menarik.”
NiuNiu (teks):
“Kalau kita mati, setidaknya kita mati karena pilihan sendiri.”
“Bukan karena Tuhan memutuskan kita harus mati.”
Agnia mengangguk. “Untuk kebebasan. Untuk kesalahan. Untuk hak menjadi rusak.”
Ketiga dewa itu menatap satu sama lain—bukan dengan cinta, tapi dengan rasa hormat yang aneh.
Dan untuk pertama kalinya setelah apa yang terjadi dalam hidup masing-masing,
mereka tidak ingin saling bunuh.
Mereka ingin bunuh sesuatu yang lebih besar.
⸻
[ARCHIVE//PARTHENON_Δ-LOG: KONSENSUS TERCATAT]
“Pada hari itu, tiga dewa sepakat:
Lebih baik membunuh Tuhan daripada berlutut selamanya.”
VIII. The Three Queens Stand Together
Untuk pertama kalinya, Julia melihat ketiganya berdiri berdampingan.
Dan di momen itu — dia mengerti tidak ada yang adil di dunia ini.
Cahaya Parthenon memantul di tubuh mereka bertiga,
seolah sedang menilai tiga versi berbeda dari hal yang sama:
kekuatan yang lahir dari luka.
Agnia, usia lima puluh lima.
Rambut abu elegan, digulung rapi tapi tetap lembut jatuh di bahu.
Garis-garis halus di wajahnya bukan sekadar tanda usia,
tapi peta dari semua tawa, tangis, dan keputusan yang ia buat sendirian di takhta.
Tubuhnya mulai menua — sedikit membungkuk, tangannya gemetar kalau terlalu lama memegang senjata.
Tapi dia hidup.
Begitu hidup.
Mata yang masih berani merasa, hati yang masih berani berdetak,
suara yang bisa retak ketika kesedihan datang tanpa diundang.
Sevraya, juga lima puluh lima.
Rambutnya perak tajam, jatuh lurus seperti bilah logam.
Wajahnya nyaris sempurna, tapi steril —
garis-garis halus tanpa cerita, usia tanpa kehidupan.
Tubuhnya tegak seperti patung; setiap gerakannya presisi, terukur,
seakan dia bukan berjalan, tapi mengendalikan tubuh itu dari jarak jauh.
Mata abu mudanya menatap lurus ke depan — jernih, cerdas,
tapi datar, tanpa riak emosi di bawah permukaan.
Ia bukan hidup. Ia berfungsi.
Dan di antara mereka,
NiuNiu, tubuh kecil usia lima belas.
Rambut hitamnya jatuh ke sisi wajah yang halus,
kulitnya tanpa garis waktu, tanpa noda dunia.
Ia seharusnya duduk di bangku sekolah, bukan berdiri di medan perang.
Tapi matanya — terlalu tua.
Di balik iris hitam itu, ada dekade kekerasan, kehilangan, dan keheningan.
Tangan kecilnya penuh bekas luka;
tangan yang belajar membunuh sebelum sempat belajar menulis surat cinta.
Cara berdirinya bukan anak-anak.
Cara berdirinya adalah prajurit yang tak pernah punya masa kecil.
Tiga ratu.
Tiga generasi yang seharusnya seimbang.
Tiga cara berbeda untuk patah.
Julia memandangi mereka lama,
dan dalam hati berpikir:
“Mereka akan membunuh Tuhan.
Tapi mereka sudah membunuh satu sama lain,
potongan demi potongan,
selama puluhan tahun.”
Akhir dari Bab 12.0: Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.
Notes WIP untuk lanjut nulis:
