
Konsensus Untuk Membunuh Tuhan
[ARCHIVE//PARTHENON_Δ-LOG 2012X//CLASSIFIED: DIVINE REBELLION]
“Tiga dewa yang saling membenci sepakat pada satu hal: Tuhan perlu mati.”
— Rekaman terakhir sebelum Eye of the Void diaktifkan
I. Setelah Darah Mengering
Parthenon masih bergetar setelah darah mereka bertiga menyentuh lantai kristalnya. Segel yang Mengunci sudah terbentuk—tiga nama terukir dalam cahaya biru tua di permukaan yang seharusnya tidak bisa ditulis: Agnia. Sevraya. NiuNiu.
Tapi sekarang, dalam hening yang canggung setelah kekerasan, mereka bertiga berdiri dengan jarak yang aman—cukup jauh untuk tidak saling membunuh, cukup dekat untuk masih merasakan dendam satu sama lain.
Agnia menyeka darah di bibirnya. “Jadi… sekarang apa?”
Sevraya menyalakan rokok. Tangannya yang terluka gemetar sedikit, tapi ia tidak peduli. “Sekarang kita bicara. Seperti yang seharusnya sejak awal.”
NiuNiu mengetik di gelang hologramnya dengan satu tangan, tangan satunya masih memegang Andamante yang berlumuran darah.
“Bicara tentang apa? Tentang bagaimana kita semua rusak karena satu pria yang mati 20 tahun lalu?”
Agnia menoleh tajam. “Jangan sebut nama Sora seolah kau satu-satunya yang kehilangan dia.”
NiuNiu mengetik:
“Kau kehilangan cinta.”
“Aku kehilangan alasan untuk tetap hidup.”
“Kita tidak sama.”
Sevraya menghembuskan asap perlahan. “Kalian berdua kehilangan hal yang sama—kemampuan untuk melanjutkan hidup tanpa menyalahkan yang lain.”
Hening.
Julia, yang berdiri di sisi ruangan dengan Delphie, akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang tapi tegas.
“Kalau kalian bertiga mau lanjut saling bunuh, silakan. Tapi aku di sini karena NiuNiu bilang kalian punya rencana untuk melawan Vrishchik. Untuk melawan Himler. Untuk melawan… Zero.”
Sevraya tersenyum kecil. “Bukan melawan, Julia. Membunuh.”
Delphie menegang. “Membunuh siapa?”
Ketiga dewa itu saling menatap.
Lalu Agnia yang menjawab, suaranya dingin seperti logam.
“Tuhan.”
II. Tuhan yang Palsu
Julia mengerutkan dahi. “Tuhan? Maksudmu metafora atau—”
“Literal,” potong Sevraya. “Zero. Himler menyebutnya ‘arsitektur kesadaran kosmik.’ Vrishchik menyebutnya ‘sistem kendali final.’ Tapi pada dasarnya, itu Tuhan—atau setidaknya sesuatu yang cukup dekat dengan definisi itu.”
Gwaneum, yang masih duduk bersila, membuka matanya perlahan. “Zero bukan Tuhan yang menciptakan. Zero adalah Tuhan yang mengoreksi. Ia melihat semesta ini sebagai kesalahan yang perlu diperbaiki.”
Agnia mengangguk. “Dan cara Zero memperbaiki adalah dengan menghapus. Menghapus pilihan. Menghapus pemberontakan. Menghapus… kebebasan.”
NiuNiu mengetik:
“Zero adalah hasil akhir dari orang-orang yang terlalu lama hidup.”
“Ia bukan dewa. Ia adalah rasa bosan yang jadi kesadaran.”
Julia menatap mereka dengan campuran ketidakpercayaan dan kewaspadaan. “Dan kalian mau membunuhnya… dengan apa?”
Sevraya menunjuk ke arah artefak The Void yang masih bersinar merah di tangan Hasan (yang berdiri di belakang Julia dengan ekspresi “aku-tahu-ini-akan-jadi-gila-tapi-tetap-ikut”).
“Dengan itu. Eye of the Void.”
Hasan mengangkat alis. “Aku pikir ini cuma kunci gerbang?”
Agnia menggeleng. “Itu kunci. Tapi juga senjata. Kalau diaktifkan dengan benar, artefak itu bisa menembakkan energi Void yang terkonsentrasi—energi yang meniadakan eksistensi. Tidak ada yang bisa bertahan dari itu. Bahkan Tuhan.”
Delphie menelan ludah. “Tapi… kalau kalian tembak Tuhan, apa yang terjadi pada semesta ini?”
Ketiga dewa itu terdiam.
Lalu NiuNiu mengetik dengan lambat, seolah memilih setiap kata dengan hati-hati.
NiuNiu mengetik:
“Kita tidak tahu.”
“Tapi lebih baik tidak tahu daripada hidup di bawah mata yang selalu mengawasi.”
III. Konsensus yang Mustahil
Julia melangkah maju, matanya bergantian menatap ketiga dewa itu. “Jadi rencana kalian adalah… menembak sesuatu yang bahkan kalian tidak yakin apa dampaknya?”
Agnia menjawab dengan nada datar. “Ya.”
“Dan kalian bertiga—yang jelas-jelas saling membenci—setuju untuk ini?”
Sevraya tertawa kecil. “Saling membenci bukan berarti tidak bisa sepakat. Kadang kebencian adalah alasan terkuat untuk bekerja sama.”
NIUNIU (teks):
“Aku setuju membunuh Tuhan bukan karena aku percaya pada kalian.”
“Aku setuju karena aku ingin melihat ekspresi wajah Zero saat menyadari bahwa bahkan ia bisa mati.”
Agnia menambahkan, “Dan aku setuju karena aku muak hidup di semesta yang tidak membiarkan kesalahan ada. Zero melihat NiuNiu sebagai anomali. Melihat cinta sebagai bug dalam sistem. Aku tidak akan hidup di dunia seperti itu.”
Sevraya menyesap rokoknya dalam-dalam. “Dan aku setuju karena… karena aku ingin tahu apakah Tuhan juga berdarah.”
Hening.
Gwaneum berdiri perlahan, debu jatuh dari jubahnya. “Parthenon mencatat konsensus ini. Tiga dewa yang rusak sepakat untuk membunuh yang paling sempurna. Ini ironi tertinggi yang pernah ditulis disini.”
Julia menatap Delphie. Delphie menatap balik ibunya.
Lalu Julia menghela napas panjang.
“Baik. Kalau kita mau bunuh Tuhan, kita perlu rencana yang lebih baik dari sekadar ‘tembak dan lihat apa yang terjadi.'”
Hasan menyeringai. “Akhirnya ada yang bicara masuk akal.”
IV. Rencana untuk Membunuh yang Abadi
Agnia mengaktifkan layar holografik besar di tengah Parthenon. Peta galaksi muncul, dengan satu titik bercahaya putih di pusatnya—posisi Zero.
“Zero tidak punya tubuh fisik,” jelas Agnia. “Ia adalah kesadaran yang tersebar di seluruh jaringan Vrishchik. Setiap kapal perang, setiap stasiun, setiap drone—semua terhubung dengannya.”
Sevraya menambahkan, “Tapi ada satu titik di mana Zero memusatkan dirinya. Satu tempat di mana kesadarannya paling terkonsentrasi.”
NiuNiu (teks):
“Himler.”
Julia mengernyit. “Maksudmu Zero ada di dalam Himler?”
Agnia menggeleng. “Bukan di dalam. Himler adalah wadah utama. Tubuhnya dirancang ulang untuk menjadi avatar Zero. Kalau kita mau bunuh Zero, kita harus tembus pertahanan Himler terlebih dahulu.”
Hasan bersiul pelan. “Himler ada di jantung armada Vrishchik yang paling kuat. Bagaimana kita bisa sampai di sana tanpa jadi abu duluan?”
Sevraya tersenyum tipis. “Dengan cara yang paling bodoh sayang: kita masuk dari depan.”
Julia menatapnya tidak percaya. “Kau serius?”
“Himler akan tahu kita datang,” kata Sevraya. “Zero bisa membaca pola energi. Ia akan tahu ada artefak Void di dekat kita. Tapi ia tidak akan menyerang—karena ia ingin artefak itu.”
NiuNiu (teks):
“Zero ingin menjadi Tuhan yang sesungguhnya.”
“Untuk itu, ia perlu Void. Ia perlu artefak ini.”
“Jadi kita pakai artefak sebagai umpan.”
Agnia melanjutkan, “Saat kita cukup dekat—saat Zero membuka pertahanannya untuk mengambil artefak—kita aktifkan Eye of the Void. Satu tembakan. Tepat ke inti kesadaran Zero.”
Delphie mengangkat tangan seperti anak sekolah. “Tapi… kalau Zero bisa baca pola energi, dia pasti tahu kita mau bunuh dia?”
Gwaneum menjawab dengan tenang, “Itulah kenapa kita perlu tiga dewa. Agnia akan menyamarkan niat. Sevraya akan memantulkan prediksi. Dan NiuNiu… NiuNiu akan jadi chaos yang tidak bisa dibaca.”
NiuNiu (teks):
“Zero tidak bisa baca apa yang tidak ada.”
V. Sumpah di Atas Darah
Agnia melangkah ke tengah ruangan, tepat di atas Segel yang Mengunci yang masih bersinar.
“Kalau kita lakukan ini, tidak ada jalan mundur. Kita semua mungkin mati. Atau lebih buruk—kita mungkin berhasil bunuh Tuhan dan menyadari bahwa semesta tanpa Tuhan lebih mengerikan.”
Sevraya berdiri di sampingnya. “Aku sudah pernah mati. Tidak lebih buruk dari ini.”
NiuNiu berjalan perlahan, berdiri melengkapi formasi segitiga.
Ia tidak mengetik apa-apa. Hanya menatap kedua orang yang pernah ia cintai dan benci dalam proporsi yang sama.
Agnia mengulurkan tangannya ke tengah.
Sevraya meletakkan tangannya di atas tangan Agnia.
NiuNiu, setelah ragu sejenak, meletakkan tangannya di atas mereka berdua.
Kristal Parthenon menyala semakin terang.
Tulisan kuno muncul di udara, berputar mengelilingi mereka:
“Tiga yang rusak menjadi satu tujuan.
Tiga yang terpisah menjadi satu pukulan.
Tiga yang seharusnya mati, memilih membunuh yang abadi.”
Gwaneum membaca tulisan itu dan tersenyum pahit. “Parthenon menyetujui. Sejarah mencatat: pada hari ini, tiga genesis Didymoi memutuskan untuk membunuh Tuhan.”
Julia menatap pemandangan itu—tiga dewa yang seharusnya saling bunuh, kini berdiri bersama dengan tujuan yang lebih gila.
“Kalian semua gila,” gumamnya.
Hasan tertawa. “Tapi itu kenapa kita di sini, kan?”
Delphie menarik napas dalam. “Jadi… kita benar-benar akan tembak Tuhan?”
Agnia menoleh, matanya bersinar dengan determinasi yang menakutkan.
“Tidak. Kita akan bunuh kesombongan yang berpikir bisa jadi Tuhan.”
VI. Epilog: Koordinat Menuju Akhir
Layar holografik di Parthenon menyala dengan koordinat baru:
[HIMLER//CORE_FLEET_POSITION]
[ESTIMASI WAKTU: 72 JAM MENUJU KONTAK PERTAMA]
[PROBABILITAS KEMATIAN: 94.7%]
[PROBABILITAS SUKSES: 1.2%]
[PROBABILITAS SEMESTA RUNTUH: TIDAK TERUKUR]
Sevraya menatap angka itu dan tersenyum. “Aku suka odds ini. Cukup rendah untuk jadi menarik.”
NiuNiu (teks):
“Kalau kita mati, setidaknya kita mati karena pilihan sendiri.”
“Bukan karena Tuhan memutuskan kita harus mati.”
Agnia mengangguk. “Untuk kebebasan. Untuk kesalahan. Untuk hak menjadi rusak.”
Ketiga dewa itu menatap satu sama lain—bukan dengan cinta, tapi dengan rasa hormat yang aneh.
Dan untuk pertama kalinya setelah apa yang terjadi dalam hidup masing-masing,
mereka tidak ingin saling bunuh.
Mereka ingin bunuh sesuatu yang lebih besar.
⸻
[ARCHIVE//PARTHENON_Δ-LOG: KONSENSUS TERCATAT]
“Pada hari itu, tiga dewa sepakat:
Lebih baik membunuh Tuhan daripada berlutut selamanya.”
Akhir dari Bab 12.0: Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.
Notes WIP untuk lanjut nulis:
