Bab 3: Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.

Delta 4.
4,121 words, 22 minutes read time.


Delta 4


[ARCHIVE//MISSION_BIO-SUIT_LOG 3768AX//STATUS: CORRUPTED]
To die unchained is to remain human.
SYNC LOST — USER DISCONNECTED.
— Recovered fragment from Vrishchik Expedition Dayan, Classified Log #13

Lima belas tahun setelah Dayan hilang di tepi The Void, gelombang gravitasi terakhir dari ledakan itu masih terdeteksi dalam grid energi Delta 4—planet artifisial yang dikuasai klan Zygos. Para insinyur menyebutnya afterglow error: gangguan mikro yang membuat langit kadang berkedip satu detik terlambat.

Sebagian menganggapnya cacat sistem; sebagian lain menyebutnya napas semesta.
Bagi Julia Rose, itu adalah tanda bahwa mesin-mesin masih mengingat namanya.

I. Bintang Delphie dan Anak yang Dinamai Darinya

Malam itu, langit Delta 4 tampak seperti lukisan yang belum selesai—sapuan warna dingin di atas kanvas logam. Bintang-bintangnya berkelip dengan ritme yang salah, seolah-olah semesta sedang belajar kembali cara bersinar setelah kehilangan ingatan. Kadang terdengar dengung jauh dari menara pendingin—bunyi yang seperti napas makhluk purba di bawah tanah, tidur tapi tak pernah mati

Dari jendela-jendela besar di sepanjang koridor koloni, pemandangan itu tampak indah bagi siapa pun—kecuali bagi Delphie.
Gadis lima belas tahun itu menatap langit seperti seseorang yang sedang mendengarkan detak jantung yang tidak sinkron.
Terlalu lambat. Atau terlalu cepat. Ia tidak tahu pasti yang mana—hanya saja tubuhnya bereaksi lebih dulu sebelum pikirannya sempat menyusul.

Delta 4 berputar retrograde, berlawanan dengan Bumi mitologis yang menjadi inspirasinya.
Periode rotasinya 24 jam—sama seperti planet leluhur yang telah punah.
Tapi Delta 4 tidak berusaha meniru kesempurnaan.
Ia diciptakan dengan sedikit cacat, sedikit goyah, sedikit kebebasan—sebuah dunia yang memaafkan kesalahan karena ia sendiri lahir dari kesalahan.

Delphie berdiri di ambang jendela panjang itu. Di kejauhan, bintang yang menjadi sumber namanya—Delphie, bintang kelas-G—memantulkan cahaya stabil ke seluruh permukaan planet artifisial itu.
Ibunya tidak pernah menjelaskan kenapa ia diberi nama itu.
Dan Delphie sudah lama berhenti bertanya.
Beberapa hal, ia pikir, lebih aman jika dibiarkan tidak diketahui.

Ia menarik napas pelan.
Langkah kakinya bergema lembut di koridor kosong—langkah seseorang yang tahu ia tidak seharusnya berada di sana.
Lampu-lampu di dinding berkerdip acak, nyala tak sempurna dari grid tenaga tua yang menolak mati, tapi juga enggan diperbaiki.
Dinding-dinding baja memantulkan suara napasnya sendiri, menciptakan gema yang terasa lebih hidup dari manusia.

Delta 4, seperti penghuninya, hidup di antara dua keadaan: tidak utuh, tapi belum hancur.

Delphie menyukai bagian tua ini.
Tidak ada pengawasan aktif.
Tidak ada sensor yang berfungsi.
Tidak ada yang peduli.

Dan karena itu, tempat ini sempurna.

Tempat di mana kesalahan bisa dilakukan tanpa saksi.
Tempat di mana dunia berhenti menatap balik.


II. Ruangan yang Tidak Seharusnya Ada

Seminggu lalu, Delphie menemukan sesuatu yang seharusnya tidak ada.

Sebuah pintu di ujung koridor sektor C-19 —
tidak tercatat di blueprint Delta 4, tidak terekam di log arsitektur digital,
tidak terdaftar di sistem energi.
Ia memeriksa tiga kali.
Semua catatan resmi sepakat: pintu itu tidak pernah dibangun.

Namun di sana ia berdiri.
Sunyi, nyata, dan menunggu.

Pintu logam tua itu berkarat di tepinya, dengan panel akses yang masih berkedip lemah seperti detak jantung mesin purba.
Butuh tiga hari untuk membukanya.
Tiga malam tanpa tidur, dengan kabel analog, sinyal manual, dan bentuk ketekunan yang tidak bisa dijelaskan oleh Delphie.

Sistem keamanannya tidak rumit—
hanya terlalu tua untuk diingat, terlalu keras kepala untuk mati.
Dan Delphie, dengan ketekunan yang tidak sehat,
menyusup lewat celah di antara dua era:
masa lalu yang menolak padam dan masa kini yang tidak tahu cara mengingat.

Ketika akhirnya pintu itu terbuka, udara di baliknya terasa lain—lebih berat, seperti sesuatu yang belum siap ditemukan.

Ruangan itu bukan ruang biasa.
Ia menolak cahaya.
Sinyal komunikasi lenyap begitu melintasi ambang pintu.
Tidak ada transmisi, tidak ada data, tidak ada gema digital.
Sebuah sangkar Faraday alami — perut kosong planet yang tidak ingin disorot.

Dindingnya tebal, penuh goresan waktu dan lapisan logam hitam yang kusam.
Di dalamnya, tidak ada kehidupan.
Hanya bayangan dan sisa-sisa eksperimen yang terkubur:
monitor pecah, generator rusak, kabel melilit seperti akar mati.

Tempat itu seperti kuburan mesin.
Atau mungkin, ruang isolasi bagi sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.

Delphie merasa ini tempatnya.
Ruang tersembunyi untuk mengekspresikan dirinya.
Ia menyalakan satu lampu portabel, menyingkirkan debu, membuat ruang kecil di tengah lantai.
Tempat bagi mikro-drone-nya — kawanan kecil dari logam ringan yang ia rakit sendiri.

Sepuluh unit, bentuknya seperti serangga dengan sayap tipis dan lampu di tubuhnya yang berdenyut pelan. Mereka lahir dari algoritma yang tidak stabil, dirancang untuk belajar bukan dari perintah, tapi dari kesalahan.

Delphie menyebut mereka Swarm-0.

Selama tiga bulan terakhir, ia datang setiap malam ke ruangan itu.
Menyempurnakan kode, memperbaiki sensor, memeriksa formasi.
Ia meminjam teori dari arsip kuno—Emergent Synchronization, tulisan para ilmuwan yang sudah lama mati. Tentang bagaimana harmoni sejati hanya muncul ketika sistem dibiarkan salah sedikit,
seperti nada palsu yang justru menyempurnakan musik.

Secara teori, itu bisa berhasil.
Secara teori, semua sistem hidup lahir dari kekacauan.

Tapi teori berhenti berlaku begitu listrik pertama kali dinyalakan.

III. Kesalahan yang Dipercepat

Delphie menarik napas dalam.

Satu kali lagi — hanya untuk memastikan.
Pintu terkunci.
Sensor anti-intrusi aktif.
Pengacak sinyal berjalan stabil.
Tidak ada kamera.
Tidak ada log aktivitas.

Ia benar-benar sendirian.
Sempurna.

“Sinkronisasi tahap satu,” gumamnya pelan —
suara yang lebih terdengar seperti mantra daripada perintah.

Ia membuka kotak transparan di meja logam.
Sepuluh mikro-drone bangkit perlahan, bergetar seperti makhluk yang baru belajar bernapas.
Tubuh mereka seukuran jempol, berpijar biru kehijauan dari inti tenaga mini,
lampu-lampunya berdenyut dengan ritme tak seragam — detak jantung yang sedang belajar sinkron.

Mereka melayang pelan.
Bersatu.
Berpisah.
Menyusun spiral.
Lalu berubah menjadi pola bunga berdenyut.
Gerakan mereka tidak mekanis, tapi organis — seperti kawanan makhluk kecil yang sedang menulis bahasa mereka sendiri di udara.

Delphie tersenyum kecil.
“Ini bekerja,” bisiknya — hampir seperti rahasia kepada dirinya sendiri.

Dan di titik itu, keyakinan mulai menggantikan kewaspadaan.
Karena setiap keberhasilan kecil selalu berbisik lembut:

coba satu langkah lagi.

Ia menatap generator tua di sudut ruangan — mesin besar dengan kisi logam terbuka, kabel melilit seperti akar besi.

Butuh dorongan daya ekstra untuk uji sinkronisasi penuh.
Ia menekan saklar.

Klik.

Suara dengung rendah merayap keluar, naik perlahan seperti tarikan napas makhluk purba.
Cahaya kuning dari generator berdenyut, cepat, lebih cepat lagi.
Terlalu cepat.

Kesalahan pertama: ia tidak memeriksa output.
Kesalahan kedua: ia tidak menyesuaikan frekuensi drone.
Kesalahan ketiga: ia percaya teori akan menoleransi keberanian.

Gelombang elektromagnetik dari generator menabrak frekuensi swarm.
Udara bergetar.
Nada rendah berubah menjadi raungan melengking —

SKREEEEEE—

Dinding logam bergetar, ruangan ikut bernapas panik.
Drone kehilangan formasi.
Mereka berputar liar, menabrak satu sama lain dalam pola kacau yang indah sekaligus mengerikan.
Sinyal komunikasi saling tumpang tindih, menciptakan gema digital yang menjerit minta henti.

“Stop, stop, stop…”

Delphie menekan panel shutdown.
Tidak bereaksi.

Menekan lagi.
Masih tidak bereaksi.

Sistem keamanan internal sudah lumpuh.
Arus daya masuk ke mode lingkar tertutup — energi berputar tanpa jalan keluar, memakan dirinya sendiri.
Suhu naik cepat.
Dinding ruangan berembun oleh panas statis.
Percikan listrik menari di udara seperti hujan biru yang kehilangan arah.

Gelombang kejut pertama membuat rambut Delphie berdiri.
Yang kedua — membuat giginya nyeri.
Udara menjadi padat, berat, seperti bisa digenggam.

Di sudut mata, ia melihat satu titik merah menyala di inti generator.

Overheat.

Satu menit sebelum ledakan plasma.
Mungkin kurang.

“Ini buruk,” gumamnya. “Ini sangat, sangat buruk.”

Tapi suaranya datar.
Tenang.
Jenis ketenangan yang hanya dimiliki seseorang yang sudah terbiasa hidup di bawah potensi kehancuran.

Ia berbalik menuju pintu—dan saat itu, lampu ruangan padam.
Gelap total.
Cahaya terakhir yang tersisa hanyalah kilatan dari drone yang tersisa, melayang tak stabil seperti kunang-kunang sekarat.

Lalu —
sesuatu muncul di ambang pintu.

Siluet.
Tubuh mungil.
Rambut hitam.
Mata yang tidak memantulkan cahaya apa pun.

Dan untuk sesaat, dunia berhenti bergetar.

IV. Gadis yang Tidak Seharusnya Ada

Delphie membeku.

Seseorang berdiri di ambang pintu—sebuah bayangan dengan tubuh mungil dan postur tegak seperti siluet yang tersusun dari cahaya yang salah. Rambutnya pendek, hitam legam, sisi kepala dipotong presisi; seragam hitamnya tidak punya lambang, tidak punya asal.
Ia seperti bagian dari ruangan ini — sesuatu yang tidak dipanggil tapi memang selalu ada di sana.

Cahaya terakhir dari generator yang sekarat menyorot wajahnya.
Pucat. Diam.
Mata hitamnya tidak memantulkan apa pun — seperti lubang yang menelan refleksi.

Delphie ingin berbicara.
Suaranya tersangkut di tenggorokan.
Semua kata terasa terlalu kecil untuk ruang sebesar ini.

Gadis itu melangkah masuk.
Langkahnya nyaris tanpa suara.
Gerakannya tidak tergesa, tapi juga bukan lamban.

Efisien.

Seolah setiap milimeter tubuhnya tahu berapa energi yang dibutuhkan untuk berpindah tempat.
Ia berhenti di depan generator yang kini bergetar tak menentu, cahaya merahnya berkedip seperti jantung yang menolak berhenti.
Delphie hanya bisa menatap, antara kagum dan takut.

Ada sesuatu pada gadis itu — sesuatu yang asing, tapi terasa benar.
Seperti kesalahan yang sudah lama dirindukan.

Tangan mungil NiuNiu keluar dari saku celananya.
Gerakannya halus, tenang, hampir ritualistik.
Ia menyentuh panel kontrol generator, jari-jarinya menari cepat, membaca urutan saklar seperti seseorang membaca doa yang sudah hafal di luar kepala.
Setiap sentuhan menghasilkan respons — klik, desis, hening.
Kemudian, satu tuas besar ditarik.

Klik.

Dunia berhenti berdengung.
Cahaya merah padam.
Hanya tersisa senyap total — jenis senyap yang membuat dada bergetar karena tubuh lupa cara bernapas.

Delphie baru sadar ia menahan napas.
Ketika udara akhirnya keluar dari paru-parunya, suaranya seperti isakan kecil.
Bukan karena takut.
Tapi karena tahu: ia baru saja menyaksikan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan manusia.

Gadis itu menatapnya —
pandangan lurus, datar, tapi menembus seperti sensor yang menilai.
Mata hitam yang sama itu, tidak menghakimi, tidak memeluk, hanya mencatat.

Waktu melambat.
Delphie mencoba meniru ketenangannya: bahu sedikit rileks, tangan di saku, wajah datar.
Sebuah upaya canggung untuk meniru sesuatu yang tidak bisa ditiru.
Dan dalam dua detik, gadis itu melirik singkat — tatapan datar yang berarti: serius, lo ngapain?

Delphie buru-buru menurunkan tangan.
Wajahnya memanas.
Gadis itu — mungkin untuk pertama kalinya — menunjukkan reaksi halus:
senyum kecil, samar, tapi nyata.
Bukan tawa.
Lebih seperti pengakuan bahwa dunia ini absurd, dan mereka berdua tahu.

Ia melangkah pergi tanpa suara, menuju pintu yang menunggu.
Sebelum keluar, ia berhenti.
Menoleh sedikit, menatap Delphie.
Tidak berkata apa-apa.
Tapi dari sakunya, ia mengeluarkan sesuatu: chip logam kecil dengan pola etched yang rumit, seperti ukiran sirkuit alien.

Klang.

Chip itu jatuh ke lantai.
Ia pergi, pintu menutup pelan di belakangnya.

Delphie tetap berdiri di sana, menatap pintu yang baru saja menelan sosok itu.
Lututnya lemas.
Udara terasa berbeda — seolah seluruh ruangan menahan napas bersama dirinya.

Lalu matanya turun.
Chip itu berkilau samar di lantai, memantulkan warna biru kehijauan dari drone yang terbakar.

Ia jongkok.
Mengambilnya.

Dingin.
Lebih berat dari logam biasa.
Sirkuitnya berdenyut pelan — ritme halus, seperti detak jantung yang mencoba mengingat sesuatu.

Dan di antara semua hal yang pernah ia buat, rusak, atau coba perbaiki,
Delphie tahu satu hal pasti:

Benda itu bukan buatan manusia.

V. Chip dan Pertanyaan yang Tidak Bisa Dijawab

Delphie berdiri lama di tempatnya.
Ruangan itu masih berbau logam terbakar, ozon, dan sesuatu yang samar — seperti udara yang baru saja menyimpan rahasia.

Tangannya masih menggenggam chip itu.
Permukaannya dingin, seolah menolak panas tubuh manusia.
Namun dari balik logam, ada denyut halus — bukan listrik, tapi ritme.
Ritme yang terasa… sadar.

Ia menatapnya di bawah cahaya senter kecil.
Pola ukirannya terlalu rumit untuk teknologi Delta 4.
Bahkan mesin mutakhir Zygos tidak mencetak sirkuit sehalus ini:
garis-garisnya melingkar, berlapis, seperti kaligrafi dari bahasa yang sudah lama dilupakan.

Delphie menatap lebih dekat, mencoba menghitung jumlah lapisan sirkuit.
Ia berhenti di angka dua belas, tapi tahu itu hanya permukaan.
Chip ini bukan alat; ia terasa seperti organ.
Bukan benda mati — tapi bagian dari sesuatu yang hidup, atau setidaknya, pernah hidup.

Ia mencoba membuka terminal portable-nya.
Menyalakan mode pemindai.
Menunggu sistem membaca sinyal elektromagnetik dari chip.
Layar memunculkan satu pesan error.

[READING FAILED]
SOURCE TYPE: UNKNOWN
ACCESS LEVEL: NON-EXISTENT
ENTITY CLASSIFICATION: ————

Layar bergetar.
Lalu padam.

Delphie menatap bayangannya sendiri di permukaan logam chip itu.
Wajah muda, tapi mata kelelahan — cerminan dari seseorang yang sudah tahu terlalu banyak hal yang tidak berguna.

“Siapa kamu?” bisiknya.

Chip itu tidak menjawab.
Tapi denyutnya berubah ritme, seolah mendengar.

Delphie menggenggamnya lebih erat.
Dan untuk sesaat, sesuatu bergetar di dalam kepalanya — bukan suara, bukan kata, tapi sensasi samar seperti gema jauh:
rasa dingin, keheningan, dan sesuatu yang mirip dengan… memori.

Bukan miliknya.

Ia menjatuhkan chip itu secara refleks.
Benda itu terasa perlahan berhenti berdenyut.

Keheningan kembali turun.
Delta 4, di atas sana, tetap berputar dengan ritme retaknya sendiri.
Delphie menatap langit-langit ruangan tua itu dan merasa ada pola tertentu di balik semua kebetulan.
Pola yang terlalu presisi untuk disebut takdir,
terlalu pribadi untuk disebut kebetulan.

Ia mengambil chip itu kembali.
Memasukkannya ke dalam saku jaket.
Dan seperti seseorang yang baru saja mencuri sesuatu yang suci,
ia melangkah cepat keluar dari ruangan.

Koridor di luar terasa lebih sempit dari biasanya.
Lampu-lampu berkerdip pelan, seolah menunggu sesuatu.
Atau mengamati.

Delphie tidak tahu kenapa,
tapi setiap langkah terasa seperti sedang diikuti —
bukan oleh kaki, tapi oleh perhatian.
Perhatian yang tidak berasal dari manusia.

VI. Apartemen dan Aroma yang Akrab

Begitu pintu apartemen terbuka, Delphie diserang oleh sesuatu yang langka di Delta 4:
aroma yang tidak berasal dari mesin.

Rendang.

Hangat, pedas, dan sedikit gosong di ujungnya — aroma yang tak ada padanannya di seluruh koloni Zygos. Udara di apartemen dipenuhi jejak waktu: bau minyak tanah sintetis, karat halus dari pipa ventilasi, dan wangi bumbu yang bertahan di dinding logam lebih lama dari manusia yang memasaknya.

Di dapur kecil itu berdiri Julia Rose.

Masih dengan seragam navigator kargo: jumpsuit abu-abu Zygos, kancing atas terbuka, rambut diikat ketat dengan tali logam. Ada garis-garis kelelahan di bawah matanya, tapi ada juga sesuatu yang lebih tua dari lelah — sesuatu yang mirip damai, tapi hanya untuk sementara.

Ia menoleh sambil mengaduk wajan.

Senyumnya tipis, praktis, bukan untuk menyambut — lebih seperti refleks bertahan hidup yang tersisa dari masa lalu.

“Dari mana saja kamu?”
Nada suaranya tidak keras, tapi mengandung sesuatu yang lebih dalam dari marah: observasi.

Delphie menelan ludah.
Tangannya otomatis menyentuh saku jaket, memastikan chip itu masih ada.

“Keluar sebentar, Bu,” jawabnya pendek.

Berusaha meniru nada santai, tapi nada suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya —
dan Julia menangkapnya.

Ia tidak bertanya lagi.
Hanya kembali mengaduk rendang dengan sendok logam yang sudah kehilangan separuh gagang karet. Dari speaker kecil di atas kompor, musik lawas mengalun: nada-nada jazz bumi, lagu tanpa nama yang entah bagaimana bertahan dari kehancuran.

“Perjalanan lancar?” tanya Delphie akhirnya, hanya untuk memecah hening.
Julia tersenyum samar. “Lancar. Tapi langitnya masih rusak. Kadang bintang berkedip terlambat satu detik.”

Delphie berhenti sesaat.
Satu detik.
Sama seperti afterglow error di grid Delta 4.
Satu detik yang hilang dari semesta — satu detik di mana waktu dan ingatan tidak sepakat.

Julia menutup kompor.
Bau daging dan santan memenuhi ruangan seperti selimut.
Ia menatap panci yang masih mengepul, lalu berkata pelan:

“Kau tahu kenapa Ibu masak ini, Delph?”
“Karena… Ibu suka rendang?”
“Karena ini lambat. Makanan yang menolak disederhanakan. Di dunia yang serba instan, kadang yang butuh waktu lebih lama justru yang bertahan paling lama.”

Ia menatap api kompor yang mulai padam.
Suaranya hampir seperti sedang berbicara kepada seseorang yang tak ada di ruangan itu.

Delphie diam.
Ia tahu pernyataan semacam itu selalu punya dua lapis makna ketika keluar dari mulut ibunya.
Yang pertama untuk dunia luar.
Yang kedua untuk dirinya sendiri.

“Bu…”
Julia menatapnya.
“Kita pindah lagi, ya?”

Julia tidak menjawab segera.
Ia menutup panci, menghapus uap dari permukaan meja, lalu menatap ke arah jendela apartemen yang menampilkan pemandangan buatan: lautan cahaya Delta 4 berdenyut pelan seperti jantung planet yang kelelahan.

“Dalam dua minggu,” katanya akhirnya.
“Aku dapat penugasan baru. Delta 7. Lebih stabil. Lebih aman.”

“Aman dari apa?”

Julia terdiam.
Ia memandangi bintang yang berkedip terlambat di luar jendela,
dan di pantulan kaca, wajahnya terlihat seperti dua orang berbeda —
yang satu manusia,
yang satu bayangan yang masih menolak mati.

“Dari hal-hal yang belum seharusnya menemukan kita lagi,”
bisiknya akhirnya.

Delphie menunduk.
Ia tahu nada itu —
nada dari masa yang Julia tidak pernah mau bicarakan.
Nada perang.
Nada kehilangan.

Bau rendang yang tadi terasa menenangkan kini berubah jadi sesuatu yang menyesakkan —
bau rumah yang tahu ia akan segera hilang.

VII. Pengawas yang Tidak Terlihat

Di atap menara hunian Delta 4, di antara antena radio yang berkarat dan pipa uap yang mendesis pelan, seorang gadis remaja duduk bersila.

NiuNiu.
Tubuhnya nyaris tak terlihat.
Nanosuit-nya berada dalam mode stealth adaptive—menyatu dengan bayangan, menipu cahaya, dan menyesuaikan tekstur dengan beton retak di bawahnya.
Hanya ada sedikit distorsi udara di sekelilingnya, seperti panas samar di atas aspal.

Di depannya,
proyeksi holografik melayang —
selembar layar transparan setipis kabut,
menampilkan interior apartemen Julia Rose.

Feed-nya bersih.
Suaranya disenyapkan.
Tapi gambar itu cukup untuk menunjukkan segalanya:
Julia sedang memindahkan rendang ke wadah logam,
sementara Delphie menatap jendela, masih dengan ekspresi orang yang belum selesai berbicara dengan dirinya sendiri.

NiuNiu menatap lama.

Jika seseorang bisa melihat wajahnya saat ini, mereka mungkin akan salah mengira bahwa ia tenang.
Padahal yang terjadi adalah kebalikannya:
ia sedang menahan badai dalam dirinya sendiri.

Teks muncul di panel holografik kecil di sisi kanan layar:

[SYNC SCAN: ACTIVE]
TARGETS: Julia Rose / Delphie Rose
STATUS: TRACKED
RISK INDEX: 7.8 / 10
THREAT SOURCE: Vrishchik Unit – ETA 09:47

NiuNiu menyentuh permukaan panel dengan dua jari.
Angka waktu di pojok kanan bawah berubah warna — dari putih menjadi merah.

Countdown dimulai.

09:46

Ia menggeser jari, membuka overlay tambahan.
Di situ, daftar titik panas muncul: jalur pasukan Vrishchik di koridor timur Delta 4, arahkan ke sektor A-47, tepat di bawah apartemen Julia.

Mereka sudah datang.


NiuNiu tidak bicara.
Ia tidak pernah bicara lagi.
Sejak Sevraya dan dirinya masuk The Void.

Setiap perintah, setiap emosi, setiap niat, ia kirim lewat teks holografik yang melayang dari sarung tangan taktisnya.
Kalimat digital muncul di udara,

huruf-huruf putih dingin seperti doa dalam bahasa mesin:

[QUERY//DORIAN_GREY_COMMS]: PHASE ONE – STANDBY.]
[CONFIRMATION RECEIVED.]
[AUTONOMOUS SUPPORT MODE ENABLED.]

Ia menarik napas panjang — napas yang tidak terdengar oleh siapa pun kecuali dirinya.
Dorian Grey, kapal yang lima belas tahun lalu digunakan untuk hyperjump ke Dayan, masih hidup dalam bentuk jaringan otonom di orbit Delta 4.
Bukan kapal, lebih tepatnya roh yang disimpan di server dingin.
Dan kini, roh itu menunggu perintahnya.


Ia kembali menatap layar utama.

Julia dan Delphie sedang tertawa kecil —
momen singkat,
murni,
manusiawi.

Dan di momen itulah NiuNiu sadar sesuatu:
ia tidak lagi tahu apakah ia mengawasi mereka demi perlindungan,
atau karena iri.

Matanya memantulkan cahaya holografik dalam warna biru kehijauan —
warna yang sama dengan LED pada chip yang kini disembunyikan Delphie di saku jaketnya.
Antara keduanya ada resonansi samar,
koneksi tak terlihat yang seolah menembus jarak, waktu, dan bahkan Void itu sendiri.

Teks baru muncul otomatis, bukan dari tangannya:

[WARNING: ANOMALOUS SIGNAL DETECTED]
SOURCE: UNKNOWN. ORIGIN WITHIN DELPHIE ROSE.]

NiuNiu menatap data itu lama.
Kemudian ia menulis balasan singkat, seperti seseorang yang berbicara pada makhluk yang tidak pernah tidur:

“Don’t touch her yet.”

Kata-kata itu lenyap dalam cahaya,
tapi sistem mengenalinya.
Perintah diterima.


Ia menutup semua layar, menyisakan satu —
hitungan mundur besar, merah, berdenyut dalam diam.

00:09:47 — MENUJU KONTAK DENGAN VRISHCHIK

Hujan ionik mulai turun dari langit Delta 4,
mengenai lapisan transparan suit-nya dan menciptakan pola berkilau seperti serpihan bintang yang gagal lahir.

NiuNiu duduk tegak.
Jari-jarinya bersentuhan di depan dada, gerakan kecil seperti doa atau ancang-ancang.
Di dalam helmnya, HUD menampilkan pesan pribadi — satu kalimat lama dari arsip Dayan yang masih tersimpan di sistemnya:

To die unchained is to remain human.

Ia menutup mata.
Satu detik.
Dua detik.
Semesta terasa menahan napas bersama dirinya.

Lalu ia berdiri.
Bayangannya menghilang sepenuhnya.
Dan dunia mulai bergerak lagi.

VIII. Sepuluh Detik Sebelum Pintu Dirobohkan

00:10

Udara di lorong sektor A-47 berhenti bergerak.
Seolah seluruh Delta 4 menahan napas bersama NiuNiu.

Ia berdiri di ujung koridor—tidak sepenuhnya terlihat, tidak sepenuhnya hilang.
Nanosuit-nya menyesuaikan suhu, menghapus tanda panas, menelan warna sekitar.
Ia tidak bernapas, hanya menghitung.

00:09

Gelombang panas di radar mulai naik:
dua puluh tanda tubuh logam-berdarah, formasi berbentuk “V”.
Pasukan Vrishchik—elite lama, dengan reaktor punggung seukuran bayi manusia.
Langkah mereka berirama seperti mesin perang yang garang.

00:08

Ia menurunkan visor.
HUD menyorot target-target utama.
Tiga di depan, dua sayap kanan, satu operator belakang—
persis seperti format teks book di sekolah militer.

Semuanya berbeda wajah, tapi algoritma kebenciannya mengenali pola.
Ia mengetik perintah di udara:

[DORIAN_GREY//LINK: ACTIVE]
DRONE DEPLOYMENT: 2 — ARMED / SILENT MODE]

Dua drone kecil keluar dari kapsul di pinggangnya,
seukuran tangan anak kecil, bersinar merah redup.
Mereka meluncur di sepanjang lantai—senyap, hampir lembut.

00:07

Suara pertama pecah.
Bukan ledakan.
Bukan teriakan.
Hanya bunyi pendek—seperti jantung yang berhenti berdetak.

Tiga kepala Vrishchik pecah bersamaan.
Plasma hitam menempel di dinding logam seperti lukisan.
Satu detik keheningan—lalu dunia meledak.

00:06

Formasi hancur.
Sisa pasukan berpencar.
Beberapa menembak ke arah bayangan yang tak bisa mereka lihat.
Peluru plasma menghantam dinding, menimbulkan percikan biru yang menari seperti bintang gugur.

NiuNiu bergerak—tidak seperti manusia.
Tubuhnya menekuk, berputar, meluncur di antara asap.
Pisau Andamante terhunus dari sarung paha—dua bilah, dua arah.
Gerakannya tidak mengiris udara; ia menulis di atasnya.

00:05

Ledakan vertikal.
Drone kedua meledak di langit-langit, menciptakan hujan jarum logam mikro.
Armor Vrishchik berlubang.
Udara berubah warna—abu, perak, dan merah gelap.

Dari bawah, Julia mendengar gemuruhnya.
Ia berhenti menata wadah makanan,
menatap ke arah pintu apartemen dengan insting lama yang belum mati.

Delphie melihat wajah ibunya berubah—dari manusia menjadi prajurit.

00:04

Julia meraih panel darurat di dapur.
Klik.
Pintu logam di lemari terbuka.
Satu senjata tua servis militer, tersimpan seperti kenangan buruk.
Tangannya gemetar hanya sepersekian detik sebelum ingat caranya menembak.
Otot mengingat lebih cepat dari hati.

00:03

NiuNiu berputar ke sisi kiri koridor.
Tiga Vrishchik tersisa mencoba mundur ke tangga servis.
Ia tak memberi mereka kesempatan.
Pisau ganda bergerak seperti vektor yang mencari asalnya.
Darah dan percikan api menulis kembali dinding.

00:02

Ia mendengar sesuatu dari headset internal.
Suara sistem, tapi seperti berbisik di telinganya sendiri:

[OBJECTIVE: PROTECT JULIA ROSE / DELPHIE ROSE]
[METHOD: ELIMINATE ALL VRISHCHIK]

Ia tidak membantah.
Tidak perlu.

00:01

Satu langkah terakhir.
Satu Vrishchik tersisa di depan pintu apartemen.
Ia menendang keras—logam bergetar, engsel berteriak.
Sebelum pintu terbuka penuh, kepala pria itu hancur.
Bukan oleh peluru NiuNiu,
tapi oleh peluru Julia Rose yang menembak dari sisi lain.

00:00

Keheningan.
Lalu—
kaca jendela apartemen pecah spiral,
dan NiuNiu melompat masuk.


Ia mendarat dua meter dari Julia.
Asap masih menetes dari suit-nya.
Visor terbuka, memperlihatkan wajah yang buat Juliah tidak berubah masih sama sejak lima belas tahun lalu.

Julia menatapnya lama,
senjata masih terangkat.

Delphie mengenali gadis itu langsung maju berdiri di antara mereka,
kedua tangannya terangkat, matanya membesar.

“Kalian… gak akan saling tembak, kan?”

Hening.
Cahaya biru dari luar menyorot tiga siluet itu:
ibu, anak, dan hantu yang muncul dari neraka.

IX. Gencatan Senjata Sementara

Hening menggantung seperti bilah pisau di udara.

Delphie masih berdiri di antara dua laras senjata yang siap menembak.
Matanya bergantian menatap dua sosok yang ia tidak mengerti—ibunya yang tiba-tiba berubah jadi prajurit, dan gadis misterius yang barusan menembus jendela dengan tenang seperti malaikat perang.

Julia menahan napas, ototnya kaku, mata terkunci pada musuh lamanya.
NiuNiu tak bergerak; hanya pupil matanya yang menyesuaikan fokus, menghitung setiap detik, setiap peluang.

“Delphie, mundur,” suara Julia rendah, stabil, tapi memancarkan otoritas yang tidak bisa ditawar.
Delphie ragu, tapi langkahnya mundur satu, dua, tiga—cukup untuk memberi ruang.

Julia perlahan menurunkan senjatanya.
NiuNiu menurunkan laras senjatanya satu detik setelahnya.

Gerakan mereka hampir sinkron, seperti dua sistem tempur yang diatur pada frekuensi yang sama—saling membaca tanpa kata.

Keheningan itu pecah oleh suara berat dari luar—BRAK. BRAK. BRAK.

Langkah seragam logam menghantam lantai.
Vrishchik gelombang kedua sudah tiba.

Julia dan NiuNiu saling menatap.
Tak perlu kata. Insting lama Julia bekerja.

NiuNiu, dengan refleks, sudah menyiapkan drone baru.
“Kiri, aku kanan,” kata Julia cepat.

NiuNiu menjawab tanpa suara—sekadar anggukan kecil.


00:20 hingga kontak.

NiuNiu melompat ke posisi di belakang meja ruang tamu, menyiapkan dua drone mini.

Julia mengambil posisi di dekat pintu dapur, memanfaatkan refleksi kaca untuk mengintai. Tangannya menekan tombol membuat pintu anti ledakan turun membuat mereka memiliki waktu dan jeda sementara.

Delphie bersembunyi di bawah meja. Dia tidak pernah tahu apartemennya punya pintu anti ledakan.

00:15.

Pintu anti ledakan apartemen berguncang.
Suara logam tergores.

Vrishchik mulai menggunakan pemotong plasma.

00:14.

NiuNiu membuka satu panel di pergelangan tangan kemudian mengetik. Teks hologram muncul di hadapan Julia. “Apa yang kamu akan lakukan?”

Julia menoleh cepat, sedikit bingung bocah ini menggunakan teks. “Selain pintu ledakan belum ada ide, kau?”

Teks Hologram: “Saatnya memainkan EMP radius kecil.”
“Gunakan saat aku beri sinyal.”

00:12.

Dinding mulai memerah di sekitar engsel pintu.
Delphie menggigit bibir, tubuhnya gemetar, tapi tetap menahan posisi.

00:11.

Julia memberi tanda dengan dua jari.
NiuNiu menghitung—
3… 2… 1— pintu ledakan bolong.

00:08.

NiuNiu menerbangkan drone EMP melewati lubang untuk meledak dalam radius tiga meter. Membuat pintu anti ledakan hancur berantakan.

Lampu padam seketika.
Suara mesin Vrishchik di luar tergagap, senjata mereka kehilangan daya dalam 4 detik ke depan.

00:06.

Julia melompat dari perlindungan, melepaskan dua tembakan cepat ke arah pintu hancur yang terbakar.
Peluru menembus asap, dua Vrishchik masuk setengah terbakar oleh ledakan EMP.

00:05.

NiuNiu meluncur ke depan, melompat di atas meja, melempar dua drone peledak kecil.
Ledakan terarah mengguncang ruangan, puing beterbangan.
Asap, serpihan logam, sisa darah.

00:04.

Julia menutup sisi kanan, menembak dua kali lagi.
NiuNiu menebas satu Vrishchik yang masih berdiri, pisau Andamante menembus armor leher tanpa suara.

00:03.

Efek EMP sudah habis. Delphie, dengan napas tersengal, mengaktifkan micro-drone-nya.
Formasi biru kehijauan muncul, membentuk perisai sementara di depan Julia.
Satu peluru plasma memantul dari perisai itu—menyulut percikan cahaya biru di udara.

00:02.

Julia menatap sekilas ke arah putrinya, tak percaya.
NiuNiu pun melirik, heran melihat sinkronisasi formasi drone itu begitu alami.
Anak ini bukan sekadar pintar—ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kecerdasan.

00:01.

Suara langkah terakhir.
Satu Vrishchik tersisa menubruk masuk, senjatanya menyala.

Julia dan NiuNiu bergerak bersamaan—dua arah, dua garis tembak, dua denyut jantung.
Tembakan mereka bertemu di tengah.

00:00.

Kepala Vrishchik terakhir meledak.
Tubuhnya jatuh, menciptakan gema logam yang panjang, menutup babak pertempuran.


Asap masih memenuhi ruangan. Delphie batuk pelan. Julia menurunkan senjatanya, bahunya naik-turun karena napas berat. NiuNiu mematikan mode tempur, suit-nya kembali redup ke warna hitam.

Mereka saling menatap lagi.

Kali ini bukan dengan ancaman—tapi pengakuan diam kalau mereka berdua bisa jadi tim yang baik.

“Kita belum selesai,” kata Julia akhirnya.
Teks hologram muncul: “Aku tahu,” jawab NiuNiu.
“Mereka akan datang lagi.”
Teks hologram: “Maka kita pergi.”

NiuNiu membuka panel di pergelangan tangannya, mengetik cepat. Dinding belakang apartemen bergeser, menyingkap lorong sempit menuju jalur servis.

Mereka bertiga melangkah ke dalam kegelapan yang menunggu.

Di belakang mereka, asap masih mengepul dari apartemen hancur. Di depan mereka, jalur pelarian sempit menuju kehidupan baru.

Atau kematian.

Julia tidak tahu yang mana.

Akhir dari Bab 3: Menatap Akhir Semesta dari Balik Kacamata Hitam.


Bla bla bla